Selanjutnya ketika narasumber melanjutkan pembicaraan
tentang relasi peran antara laki-laki dan perempuan,
si Bapak ini mengoceh lagi di kursinya: “Itu
sudah ada di agama. Memang istri melayani suami. Laki-laki itu pemimpin. Kenapa
harus dipertanyakan?
Sayangnya saya bukan pembicara saat itu, hanya pemantau
lokakarya. Dan sayangnya pula, si Bapak
ini hanya mengomel di kursinya dan tidak mengekspresikan di forum, jadi
narasumber tidak menyadari bahwa ada yang uring-uringan mendengar kata ‘gender’.
Sudah berkali-kali melatih tentang gender, menyaksikan kontra seperti ini bukan hal baru
buat saya. Sambil kasihan melihat Bapak ini gelisah, saya bertanya pada diri
sendiri: “Hmm, perlu ditanggepin gak ya? Saya
kan cuma observer di acara ini.”
Tapi akhirnya lidah ini nyerocos juga. Saya menoleh ke Bapak ini seraya tersenyum dan berkata: “Pak, coba deh dibayangkan. Istri bapak sehabis bangun pagi langsung ketemu apa dulu? Air kan pak? Mau nyuci, mau masak. Kalau pagi-pagi, mungkin bapak santai ngopi-ngopi. Nah itu kopi yang Bapak minum asalnya dari air bersih bukan? masak Bapak mau air kotor? Nah, perempuan itu lebih dekat dengan air daripada laki-laki. Karena perannya banyak berhubungan dengan air. Kalau tidak ada air bersih, perempuan yang lebih stres daripada laki-laki, pak!”
Tapi akhirnya lidah ini nyerocos juga. Saya menoleh ke Bapak ini seraya tersenyum dan berkata: “Pak, coba deh dibayangkan. Istri bapak sehabis bangun pagi langsung ketemu apa dulu? Air kan pak? Mau nyuci, mau masak. Kalau pagi-pagi, mungkin bapak santai ngopi-ngopi. Nah itu kopi yang Bapak minum asalnya dari air bersih bukan? masak Bapak mau air kotor? Nah, perempuan itu lebih dekat dengan air daripada laki-laki. Karena perannya banyak berhubungan dengan air. Kalau tidak ada air bersih, perempuan yang lebih stres daripada laki-laki, pak!”
Si bapak dari Dinas Pekerjaan Umum ini bergumam sesuatu. Mulutnya
komat-kamit, seperti sedang bicara ke teman sebelah kanannya *saya di sebelah
kirinya*. Kurang jelas si Bapak tidak
puas akan pernyataan saya yang mana. Saya nyerocos lagi: “Ini lokakarya maksudnya agar peran perempuan yang berhubungan dengan
air diperhitungkan, pendapat perempuan juga didengar dalam manajemen air
bersih. Gitu pak! Bukan maksudnya perempuan ingin di atas laki-laki.”
Syukurlah si Bapak agak lebih tenang. Saya pikir ‘kena nih’
ilustrasinya. Eh tak taunya, dia menoleh ke belakang, kasak kusuk lagi dengan
teman-temannya, bicara lagi bahwa konsep gender menentang agama.
Hadeeehh. Capeeek deh.
Bagaimana memajukan perempuan di desa yang kesulitan mengakses dan mengontrol air
bersih, kalau pemerintahnya (Dinas Pekerjaan Umum lhoo) tidak terbuka dengan
kesetaraan dan keadilan gender? Banyak
keluarga miskin dan terpencil mengalami buruknya kesehatan akibat kelangkaan
air, dan yang pusing tentang masalah ini adalah perempuan. Mereka juga kurang dilibatkan
dalam perencanaan pembangunan, jadi kebutuhannya tidak terwakili.
Entah mau dibawa kemana pembangunan yang pelaksana negaranya masih intoleran terhadap kesetaraan gender. Padahal penduduk Indonesia kan fifty-fifty
laki-laki dan perempuan. Negara mendapatkan keuntungan dari hadirnya laki-laki
dan perempuan (pembayaran pajak, melaksanakan tanggungjawab produksi, reproduksi dan sosial
untuk memelihara kelangsungan hidup manusia), maka laki-laki dan perempuan juga seharusnya sama-sama berhak
menikmati pembangunan sesuai kebutuhan dan prioritasnya.
Semoga suatu hari Bapak Dinas PU itu mengalami
pencerahan, entah datangnya dari mana. :-))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar