Perempuan rumah tangga bekerja tanpa jam kerja alias 24/7. Dan mereka masiiiiih saja disebut sebagai kelompok yang 'tidak bekerja', hanya karena tidak menghasilkan uang. Beban bertambah (ganda) bila perempuan juga mencari nafkah, tidak hanya mengurus anak dan rumah. Tidak sedikit perempuan yang merasa kelelahan, stres bahkan
burnout, akibat melakukan terlalu banyak pekerjaan.
Rumahtangga yang hanya mengandalkan perempuan untuk pekerjaan domestik pasti akan kewalahan dan merasa butuh jasa orang lain, yaitu Pekerja Rumah Tangga.
(Note: PRT biasanya perempuan juga. Ada konstruksi gender yang tidak adil di sini. Urusan domestik selalu dilekatkan pada peran perempuan. Saya pernah bahas di sini).
Nah, masalahnya, ketersediaan PRT tidak
selalu ada. Permintaan tinggi, suplai terbatas. Bilapun ada, tidak
selalu hubungan kerja cocok, kan?. Berdasarkan curhat para PRT,
mereka
tidak betah karena tugas terlalu berat, jam kerja panjang, gaji kecil dan majikan terlalu sering marah. Di sisi lain, menurut teman-teman saya dan
tulisan
momma bloggers, majikan tidak betah
menghadapi PRT yang kurang bertanggungjawab, terlalu sering bertelepon dan
keluyuran sebelum pekerjaan utama tuntas, dan perilaku lainnya yang bikin sakit kepala daripada membantu. Sampai ada keluarga yang
saking sakit hatinya, akhirnya lebih memilih tidak menggunakan jasa PRT dan
babysitter sama sekali. Banyak juga hubungan indah tercipta antara
majikan-PRT, namun bukan jaminan bahwa PRT akan setia dan lama bekerja
di suatu rumahtangga, karena mereka punya harapan dan mimpi tersendiri,
bukan?.
Dalam banyak kasus, ketidakseimbangan pembagian peran-lah sebetulnya
yang membuat rumah tangga perkotaan di Indonesia menjadi sangat
tergantung pada PRT. Urusan mengasuh anak, memasak dan bersih-bersih dibebankan hanya pada perempuan
(istri) atau anak perempuan. Akhirnya perempuan kedodoran energi dan perlu merekrut PRT. Padahal logikanya, bila urusan karir (untuk
memperoleh uang, posisi, kekuasaan, dan aktualisasi) di ranah publik bisa dikerjakan oleh laki -laki dan perempuan, mengapa untuk urusan domestik
tidak demikian? Laki-laki
bisa kok mengepel, mencuci, memasak, mengasuh anak. Tetapi interpretasi
agama, budaya dan internalisasinya secara personal tidak mengijinkan
laki-laki untuk melakukannya.
Ada juga debat batin begini.
"Kan laki-laki udah cari uang, istri dong yang ngurus rumah tangga, nggak tau diri banget sih". Atau perempuan tidak tega melihat suaminya berpeluh keringat di rumah:
"Kasihan, udah capek cari duit dan nyetir, masih harus urus anak di rumah.".
Helloooow, men might earn, but women invest! Tugas reproduksi (mengasuh anak
dan mengurus rumah) memang tidak menghasilkan uang, tetapi nilai
investasinya lebih tinggi lho, yaitu generasi yang kualitasnya dimimpikan dan kesejahteraan seluruh anggota keluarga.
Dalam banyak aspek, tugas reproduksi justru lebih berat dan dijalankan dalam jam kerja yang lebih lama dari tugas produksi (mencari nafkah). Jadi tugas reproduktif bukan hanya setara dengan tugas produktif, tetapi melampaui. Pekerjaan domestik yang terlalu
banyak juga dapat menghambat kesempatan perempuan terberdaya dalam
potensinya yang lain.
Karena itu, tanggungan bebannya perlu dibagi. Pembagian tugas antara suami-istri lebih serius
diperlukan bila perempuan berbeban ganda, yakni melakukan kedua tugas produktif dan reproduktif (berkarir,
mengasuh anak dan mengurus rumah).
Kembali ke topik. Jadi bagaimana agar rumahtangga berlangsung tanpa PRT?
Pertama-tama, marilah melihat dalam rumahtangga, apakah beban kerja
domestik antara perempuan (istri/ibu) dan laki-laki (suami/ayah) terbagi
secara seimbang?
Hal utama yang perlu dilakukan adalah secara terbuka membagi tugas domestik antara istri dan suami atau anggota keluarga perempuan dan laki-laki (untuk keluarga besar yang anak-anaknya sudah dewasa).
Saya dan Addies telah sepakat bahwa kami harus selalu siap kapanpun tidak tersedia jasa PRT. Ini berarti kami harus sepakat dengan pembagian tugas. Sejak Little Big Rei lahir hingga sekarang berusia 14 bulan, hanya beberapa bulan saja kami merasakan jasa PRT. Pun bila ada PRT, kami tetap menjadi perawat utama Rei. Addies berkarir di luar rumah, sedangkan saya lebih banyak berada di rumah, tetapi tidak berarti bahwa semua urusan rumahtangga dan perawatan Rei ada di pundak saya.
Menurut kami, adalah baik memberikan potret kepada anak bahwa laki-laki bisa
mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Sejak kecil, Rei melihat poppa-nya menyapu, mengepel, memberinya makanan dan minuman, memandikan,
memakaikan baju dan popok, mengajak jalan-jalan dan bermain. Saat Rei masih merah, Addies bahkan kebagian mencuci semua popok yang belepotan pup. Ketika dewasa nanti, kami berharap Rei tidak merasa ada masalah pada dirinya
bila dia (sebagai laki-laki) melakukan pekerjaan domestik itu.
Please pembaca, jangan mengira bahwa rumahtangga kami berlangsung damai, lancar jaya tanpa tangisan bombay. Saya dan Addies melaluinya dengan stres, kemarahan, kekecewaan dan saling menyalahkan. Tidak jarang uneg-uneg dan saling komplain keluar dengan cucuran air mata, gerutu dan teriakan. Kami bahkan pernah bertengkar sampai merasa amat sangat malu pada Rei yang ternyata sedang mengamati kami dengan tertekan *ngga lagi deh berantem di depan Rei*. Proses ini membawa kami menjadi insan yang makin mengenal diri dan pasangan. Mengasuh Rei secara tandem membuat kami lebih dewasa dan percaya diri, meski tetap merasa tidak sempurna.
Oke, cukup sekian tentang pembagian peran. Sekarang, tips lebih konkrit untuk bertahan tanpa PRT atau
babysitter, khususnya untuk keluarga dengan balita:
a) Mandilah bersama anak kita. Jadi kita tidak perlu punya acara mandi sendiri, apalagi karena tidak ada yang jaga si bayi. Mandi bersama telah menjadi momen interaksi dan bermain favorit saya dan Rei. Sssstt, Rei kadang nenen di kamar mandi.
b) Terapkan
Baby-led Weaning (BLW) atau bayi makan sendiri. Metode ini memang menyebabkan
messy alias berantakan, tetapi pertimbangkan investasi jangka panjangnya. Anak lebih mandiri dan tidak pilih-pilih makanan. Kegiatan makan bisa diselesaikan lebih cepat. Ibu tidak perlu stres memikirkan harus mengolah menu yang
sophisticated, demi anak bernafsu makan. Biasakan mendudukkan anak di kursi makan saat makan, alias tidak makan sambil jalan-jalan apalagi lari-lari *hadeeeeh*. Jadi yang kita bersihkan hanyalah
local dirt saja bukan ceceran makanan yang bertebaran di mana-mana. Ingat, nyendokin sambil jalan-jalan malah kadang tambah bikin rumah kotor. Dengan metode BLW, kita juga bisa makan bersama anak agar tercipta kebiasaan makan keluarga atau kita bisa mengerjakan hal lain ketika anak sedang makan.Terus terang, metode BLW ini secara signifikan meringankan beban perempuan (maksudnya saya) ;-)
|
Rei makan di kursi makan. Poppa mengawasi sambil memarut kelapa. Momma masak di dapur. What a team! |
- Di pagi hari, sebelum berangkat kerja, suami bisa mengurus anak,
sedangkan istri memasak dan bersih-bersih, atau sebaliknya. Biasanya
pagi-pagi, saya masak dan Addies mengajak Rei berjemur, memberi makan
dan memandikannya. Kadang Addies juga membersihkan kamar dan menidurkan
Rei.
In such little time, the best thing is that the three of us manage to dine together.
|
Saya mandi/masak/beres-beres. Addies membobokan Rei sambil mengerjakan tugas kantor (coding) |
- Ikut istirahat ketika anak kita tidur. Kapan lagi???
|
Poppa dan Rei saling membobokkan |
- Sekarang tentang urusan masak. Buatlah bumbu masakan (bawang putih, bawang merah, sambal) untuk kebutuhan seminggu, yang bisa disimpan di kulkas. Jadi tidak perlu selalu mengupas dan mengulek bawang setiap kali mau masak.
|
Bawang putih dan merah dihaluskan dengan Chopper. Ditumis sebentar. Masuk kulkas |
- Belanja bahan makanan untuk seminggu. Lauk seperti ayam, daging dan ikan dibersihkan sebelum masuk
freezer. Urutan sayuran yang dimasak disesuaikan dengan daya tahannya. Yang cepat layu, dimasak duluan.
- Menyapu dan mengepel mungkin bisa diganti dengan penggunaan
vacuum cleaner. Saya sendiri baru terpikir untuk membelinya. Rumahtangga di negara Barat jarang sekali punya PRT. Salah satunya karena cara manual digantikan oleh teknologi. Seandainya mesin pencuci piring dijual di sini, pasti saya berpikir untuk membelinya.
-
Get rid some old things. Buanglah atau berikan kepada yang membutuhkan, semua barang yang kurang terpakai. Jadi kita membutuhkan sedikit tenaga untuk membersihkan barang-barang di rumah.
Nah, sekarang soal karir. Bagaimana bila perempuan tetap ingin berkarir dan tidak bisa banyak berada di rumah? Sebenarnya menurut berbagai sumber, usia 0-3 tahun adalah
golden age, di mana anak betul-betul membutuhkan kasih sayang, perhatian dan pendampingan. Karena itu, disarankan salah satu orangtua dapat lebih lama tinggal bersama anak di rumah. Maksudnya, menunda bekerja sampai anak telah berusia 3 (tiga) tahun atau bekerja dari rumah atau bekerja secara
part-time. Saya tidak bilang yang lebih banyak tinggal di rumah harus perempuan ya. Tetapi bila anak disusui dengan ASI sampai minimal usia dua tahun, maka sebaiknya perempuan yang menunda bekerja dan lebih lama berada di dekat anak.
Saya amat sangat maklum bahwa pilihan ini belum tentu cocok untuk semua orang. Bila perempuan memutuskan tetap lanjut berkarir secara
full time, hayu atuh.
Go, go, go! Ada pilihan bertahan lainnya, misalnya menitipkan anak di rumah orangtua/mertua atau di
daycare atau Tempat Penitipan Anak (TPA)
. Sudah mulai banyak
daycare di wilayah perumahan dan kantor. TPA yang dikelola oleh departemen pemerintah atau universitas biasanya relatif lebih murah, meski tidak selalu lebih berkualitas. Ada juga TPA yang melayani penitipan harian (bukan bulanan), cocok untuk perempuan yang bekerja secara part-time. Sebaiknya survei dulu sebelum memilih
daycare yang sesuai dengan visi dan misi orangtua. Ini ada
blog khusus yang membahas TPA, meski tidak
up to date. Ada juga tips memilih TPA di
sini.
Segini dulu ya. Ada tips lain?