Selama ini hubungan PRT-majikan berada di ranah privat dan
tertutup dari pihak luar. Perlakuan the Rookie Mom (saya) terhadap Mbak Sina (the Assistant) misalnya, tidak dapat diketahui oleh masyarakat publik. Karena itu, Mbak Sina termasuk kelompok rentan yang bila mengalami pelanggaran HAM oleh saya, sulit
dideteksi dan dilindungi oleh publik dan penegak hukum. Mbak Sina tidak memiliki kekuatan
hukum dan wadah pengaduan bila sedang memerlukan.
Dengan instrumen hukum, maka nasib PRT bukan lagi berada pada ranah privat atau rumahtangga, tetapi pada negara (dutybearers) yang bertanggungjawab melindungi mereka dengan hukum.
Termasuk di dalamnya peraturan mengenai hak upah, jam kerja, libur atau cuti,
perlindungan dari kekerasan, dll. Aktivis isu perempuan sedang memberi masukan
pada RUU Perlindungan PRT ini untuk memastikan isinya melindungi hak-hak PRT ini.
Ketika berdiskusi dengan mahasiswi yang ingin memilih topik tesis
tentang RUU Perlindungan PRT, dia memberikan informasi bahwa ada wacana
menetapkan gaji PRT menjadi minimal Rp.1,500,000.- per bulan. Saya
setuju sekali dengan kebijakan untuk melindungi hak PRT. Tetapi, saya lantas berkaca pada diri sendiri. Apakah keluarga
saya mampu membayar gaji mbak Sina sebesar itu? Kalau mampu, apakah mau? Bagaimana dengan keluarga yang
berpenghasilan pas-pasan, tetapi sangat membutuhkan PRT agar sang ibu masih
bisa berkarir?
Sebagian besar PRT adalah perempuan. Ini tidak terlepas dari
stereotipe gender dan ekspektasi masyarakat, bahwa mengurus rumah tangga lebih
cocok dikerjakan oleh perempuan (cat: jenis pekerjaan lainnya pun bergender
karena stereotipe gender dan kadang ini tidak adil). Sementara itu, peran tradisional mengasuh anak dan
merawat rumah tangga masih diemban juga oleh perempuan (ibu/istri).
Nah, saya tergelitik untuk mengetahui bagaimana RUU PRT ini menyeimbangkan situasi keduanya: melindungi PRT, tetapi memberikan dukungan yang kondusif bagi para ibu, yang banyak dituntut perannya oleh Negara dan masyarakat, misalnya memberikan ASI eksklusif, menjadi ibu rumah tangga (sesuai UU Perkawinan jadul yang saya bahas di sini). sebagai penyangga ekonomi negara lewat UKM, dll. Bagaimana Negara mempertimbangkan hal ini?
Nah, saya tergelitik untuk mengetahui bagaimana RUU PRT ini menyeimbangkan situasi keduanya: melindungi PRT, tetapi memberikan dukungan yang kondusif bagi para ibu, yang banyak dituntut perannya oleh Negara dan masyarakat, misalnya memberikan ASI eksklusif, menjadi ibu rumah tangga (sesuai UU Perkawinan jadul yang saya bahas di sini). sebagai penyangga ekonomi negara lewat UKM, dll. Bagaimana Negara mempertimbangkan hal ini?
Isu lain adalah perekrutan PRT berusia anak (di bawah 18
tahun). Di dalam UU no.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, jelas diatur bahwa anak-anak tidak boleh
melakukan pekerjaan yang membahayakan (hazardous
work). Menurut saya, pekerjaan rumah tangga adalah salah satu pekerjaan
yang membahayakan untuk anak, karena jam kerja yang panjang dan jenis pekerjaan yang
melelahkan (mencuci, mengepel, memasak). Tetapi ada wacana untuk membolehkan
anak untuk bekerja sebagai PRT, dengan ketentuan bahwa
anak hanya boleh bekerja maksimal selama 4 jam dan boleh bersekolah. Lalu
siapakah yang akan memantau hal ini? Begitu banyak rumah tangga yang harus
dipantau dan anak yang harus dilindungi. Akankah Negara mampu melakukannya?
Setiap kali menyusun RUU, memang yang tersulit bagi para penyusunnya (anggota DPR,
staf ahli dan masyarakat sipil) adalah membuat UU implementatif dan efektif, memiliki
definisi yang sederhana, mudah dimengerti, punya prasarana dan secara realistis dapat dilaksanakan. Bila tidak, polisi
dan jaksa tidak dapat atau tidak mau menggunakan RUU ini untuk melindungi PRT atau malah banyak ibu
rumah tangga masuk penjara?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar