Sabtu, 17 Maret 2012

Perempuan, Air Bersih dan Pemerintah yang Intoleran

Dalam sebuah lokakarya di Solo beberapa bulan lalu tentang pentingnya menggunakan analisis gender dalam pengelolaan air bersih, seorang Bapak dari Dinas Pekerjaan Umum, yang duduk di samping saya, menumpahkan kekesalan di kursinya. Dia berbicara dengan rekannya: “Kenapa sih, lagi ngomongin air bersih, pakai membeda-bedakan laki-laki dan perempuan? Apa hubungannya? Ini gender-genderan nilai Barat yang masuk ke Indonesia.“

Selanjutnya ketika narasumber melanjutkan pembicaraan tentang relasi peran antara laki-laki dan perempuan, si Bapak ini mengoceh lagi di kursinya: “Itu sudah ada di agama. Memang istri melayani suami. Laki-laki itu pemimpin. Kenapa harus dipertanyakan?

Sayangnya saya bukan pembicara saat itu, hanya pemantau lokakarya.  Dan sayangnya pula, si Bapak ini hanya mengomel di kursinya dan tidak mengekspresikan di forum, jadi narasumber tidak menyadari bahwa ada yang uring-uringan mendengar kata ‘gender’.  

Sudah berkali-kali melatih tentang gender, menyaksikan kontra seperti ini bukan hal baru buat saya. Sambil kasihan melihat Bapak ini gelisah, saya bertanya pada diri sendiri: “Hmm, perlu ditanggepin gak ya? Saya kan cuma observer di acara ini.”

Tapi akhirnya lidah ini nyerocos juga. Saya menoleh ke Bapak ini seraya tersenyum dan berkata: “Pak, coba deh dibayangkan. Istri bapak sehabis bangun pagi langsung ketemu apa dulu? Air kan pak? Mau nyuci, mau masak. Kalau pagi-pagi, mungkin bapak santai ngopi-ngopi. Nah itu kopi yang Bapak minum asalnya dari air bersih bukan? masak Bapak mau air kotor? Nah, perempuan itu lebih dekat dengan air daripada laki-laki. Karena perannya banyak berhubungan dengan air. Kalau tidak ada air bersih, perempuan yang lebih stres daripada laki-laki, pak!”

Si bapak dari Dinas Pekerjaan Umum ini bergumam sesuatu. Mulutnya komat-kamit, seperti sedang bicara ke teman sebelah kanannya *saya di sebelah kirinya*.  Kurang jelas si Bapak tidak puas akan pernyataan saya yang mana. Saya nyerocos lagi: “Ini lokakarya maksudnya agar peran perempuan yang berhubungan dengan air diperhitungkan, pendapat perempuan juga didengar dalam manajemen air bersih. Gitu pak! Bukan maksudnya perempuan ingin di atas laki-laki.”

Syukurlah si Bapak agak lebih tenang. Saya pikir ‘kena nih’ ilustrasinya. Eh tak taunya, dia menoleh ke belakang, kasak kusuk lagi dengan teman-temannya, bicara lagi bahwa konsep gender menentang agama.

Hadeeehh. Capeeek deh. Bagaimana memajukan perempuan di desa yang kesulitan mengakses dan mengontrol air bersih, kalau pemerintahnya (Dinas Pekerjaan Umum lhoo) tidak terbuka dengan kesetaraan dan keadilan gender?  Banyak keluarga miskin dan terpencil mengalami buruknya kesehatan akibat kelangkaan air, dan yang pusing tentang masalah ini adalah perempuan. Mereka juga kurang dilibatkan dalam perencanaan pembangunan, jadi kebutuhannya tidak terwakili.

Entah mau dibawa kemana pembangunan yang pelaksana negaranya masih intoleran terhadap kesetaraan gender. Padahal penduduk Indonesia kan fifty-fifty laki-laki dan perempuan. Negara mendapatkan keuntungan dari hadirnya laki-laki dan perempuan (pembayaran pajak, melaksanakan tanggungjawab produksi, reproduksi dan sosial untuk memelihara kelangsungan hidup manusia), maka laki-laki dan perempuan juga seharusnya sama-sama berhak menikmati pembangunan sesuai kebutuhan dan prioritasnya.   

Semoga suatu hari Bapak Dinas PU itu mengalami pencerahan, entah datangnya dari mana.  :-))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar