Tahun ini waktunya Revani Putri Raja (keponakan saya, 4 tahun)
untuk masuk taman kanak-kanak (TK). Dia tidak mengikuti playgroup. Karena itu,
rencana sekolah di tahun ini tidak bisa diganggu gugat. Saya dan adik mencarikan
TK untuknya, dan berunding dengan ibu saya untuk memutuskan mana sekolah yang paling
cocok.
Jauh-jauh hari, emaknya Reva yang bekerja di Balikpapan
sudah pesan sekolah dengan paket hemat karena anggaran terbatas, jadi kalau
bisa SPPnya antara 300-400ribuan dengan uang pangkal tidak lebih dari Rp.4 juta.
Baiklah. Saya kemudian daftarkan dua syarat lagi selain anggaran yaitu prinsip ‘Studying
is Playing, Tidak Baca Tulis’ dan tentunya ‘No Violence Against Children’.
TK yang sudah
disurvei yaitu Happy Holy Kids, ABC
Kids, Quantum, Gracia Laguna. Saya juga mendapatkan informasi tentang TK
Permata Bunda dari teman, tetapi tidak mensurveinya. Semua TK tersebut berlokasi dekat dengan
Komplek Taman Laguna, tempat tinggal Reva. Sebenarnya tergoda melihat Labschool dan
BPK Penabur, tetapi lokasinya terlalu jauh dari rumah, jadi tidak jadi disurvei.
Ternyata TK yang fasilitas fisiknya bagus seperti Quantum,
ABC Kids, Permata Bunda dan Happy Holy Kids menarifkan SPP per bulan antara Rp.500-700ribu dengan uang
pangkal yang bisa mencapai Rp.7 juta. Ya Tuhan, belajar di TK aja kok mahalnya kayak
kuliah Master saja! Sekolah-sekolah ini bertempat
di ruko, gedung dan komplek sekolah yang cukup luas. Fasilitas bermainnya
sangat atraktif dan bermerk impor. Guru-gurunya cukup banyak, berseragam,
terlatih dan kelihatan profesional. Tapi harganya semua lewat dari anggaran
yang disepakati. Oke, bye!
Yang paling terjangkau akhirnya TK yang paling dekat yaitu Laguna
Gracia dengan uang pangkal Rp. 3.5 juta dan SPP Rp. 300ribu/ bulan. Fasilitasnya
tentu saja tidak sophisticated seperti
sekolah lainnya. Adalah TK sederhana, terletak di
dalam rumah yang disulap menjadi sekolah usia dini. Ada alat bermain yang
konvensional di halaman rumah. Hanya ada dua guru untuk tiga kelas (Playgroup,
TK A dan TK B), tidak berseragam, kelihatan lebih rileks dan casual.
Oke, sekarang syarat kedua tentang Studying is Playing. Sudah dapat ditebak sebelumnya bahwa semua TK yang
disurvei memiliki kurikulum untuk mempersiapkan anak masuk sekolah dasar (SD). Jadi
anak-anak sudah diperkenalkan angka dan huruf. Sebenarnya sebatas ini oke. Tetapi
ternyata Laguna Gracia mengajarkan menulis kalimat untuk anak TK B. Gurunya menunjukkan hasil tulisan anak
ajarnya dengan bangga. Dan tulisan anak TK B itu memang sudah rapih seperti
tulisan orang dewasa! Guru itupun dengan bangga menjelaskan bahwa kurikulumnya berbeda dan
sukses mempersiapkan anak masuk SD.
Yup, ini tidak sesuai dengan harapan saya yang ingin agar Reva
diajar bermain saja, yang didalamnya terkandung pendidikan disiplin, sopan
santun, menghargai orang lain, mandiri, dll. Anak seusia 4—5 tahun tidak seharusnya
mengalami stres dini karena dituntut harus baca tulis. Mereka selayaknya bersenang-senang
mendapatkan latihan kognitif dan motorik sesuai usianya.
Sebagian besar SD (di dalamnya guru-guru) di Indonesia ini
sepertinya bersekongkol untuk hanya menerima murid baru yang sudah bisa baca
tulis. Apakah guru-guru SD kita sudah sedemikian desperado sehingga inginnya mengajar 'starter kid'? Guru TK dan orangtua jadi ketakutan anaknya tidak bisa lulus masuk SD karena
tidak bisa membaca dan menulis. TK-pun terpaksa mengikuti persengkongkolan ini
dan memenuhi demand dari orang tua
murid agar sekolahnya tetap diminati. Ini sudah menjadi
sindikat persekolahan. Tetapi akhirnya saya mencoba memaklumi hal ini, meski menerima kebijakan yang tidak disukai seperti ini adalah salah satu kompromi yang menyebalkan.
Anyway, pilihan tetap jatuh pada TK Laguna Gracia. Ujung-ujungnya
adalah isu ‘kocek’. Anggarannya paling sesuai. Lokasinya juga dekat rumah, jadi
tidak perlu tambahan biaya transportasi. Sedangkan syarat “no violence” akan dipantau selama Reva bersekolah
dan via ‘kasak-kusuk’ dengan orangtua murid tentang pernah ada atau tidaknya
kasus kekerasan di sekolah.
Reva di depan TK Laguna Gracia |
Oya, semua pilihan sekolah diperkenalkan kepada Reva untuk
memberikan hak partisipasinya. Dia sebenarnya paling tertarik dengan Quantum,
karena gedungnya yang ‘wah’ dan alat bermain yang besar dan megah yang dipajang di
taman. Namun, dia dijelaskan tentang
kondisi sekolah dan keuangan maminya. Reva adalah anak yang sangat memaklumi
hal-hal seperti ini. Dia mudah mengerti
dan akhirnya setuju bersekolah di Laguna Gracia. Oke Reva, selamat sekolah ya
nak! Selamat bersenang-senang. Love you!
Halo.. salam kenal. Saya lagi mencari sekolah TK untuk anak saya. Sebenarnya saat ini anak saya sudah bersekolah di TK Mini Pak Kasur di Bogor.. sedangkan saya di Puri Sriwedari Cibubur. Hehehe iyaa jauh ya hahha. Tapi saya punya prinsip yang sama dengan Ibu mengenai bagaimana sebaiknya pendidikan anak di TK itu. Namun dengan tambahan, saya ingin bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia. Kita tinggal di Indonesia kan.. bukan di Eropa. Sedangkan di sebagian besar sekolah yang ada di Jakarta dan sekitarnya saat ini dengan bangganya memakai bahasa asing sebagai bahasa pengantar. Kelemahan dari hal itu adalah, anak-anak kita tidak dapat berbahasa Indonesia dengan benar dan baik, pun bahasa Inggris nya pun super ngaco. Banyak saya mendengar anak-anak dalam bersosialisai dengan orangtua dan teman-temannya berbahasa Inggris dengan gaya ke Amerika-an. Sangat ga sreg. Sempat saya mau daftarkan ke Quantum. Sayang, Quantum menerapkan jam belajar yang menurut saya keterlaluan. 7.30-1pm, 5hari seminggu, plus hari Sabtu untuk belajar agama (wajib). Saya ga suka sekali. TK ya TK. Ini diluar masalah biaya yang menurut saya juga terlalu besar untuk taman bermain.
BalasHapusAkhirnya memang walaupun jauuuuh di Bogor.. anak saya mantap saya masukkan ke TK Mini Pak Kasur di Bogor. Selain saya alumni di sekolah yang sama namun cabang pusat di Jakarta, gurunya pun ada yang saya masih kenal, beliau pernah mengajar saya di tahun 80an. Saya merasa aman hehhe. Materi pengajaran masih sama seperti dulu. Sederhana, bermain sambil belajar, aman, nyaman bagi anak, dan orangtua diikutsertakan.. tidak ada pagar pembatas antasa orangtua dan anak. Bahasa pengantar tentu bahasa Indonesia, dan memanggil guru pun masih dengan Bapak Guru dan Ibu Guru.. sesuatu yang sangat jarang saya dengar akhir-akhir ini :)