Jumat, 24 Februari 2012

Memilih TK di Cibubur untuk Reva


Tahun ini waktunya Revani Putri Raja (keponakan saya, 4 tahun) untuk masuk taman kanak-kanak (TK). Dia tidak mengikuti playgroup. Karena itu, rencana sekolah di tahun ini tidak bisa diganggu gugat. Saya dan adik mencarikan TK untuknya, dan berunding dengan ibu saya untuk memutuskan mana sekolah yang paling cocok.

Jauh-jauh hari, emaknya Reva yang bekerja di Balikpapan sudah pesan sekolah dengan paket hemat karena anggaran terbatas, jadi kalau bisa SPPnya antara 300-400ribuan dengan uang pangkal tidak lebih dari Rp.4 juta. Baiklah. Saya kemudian daftarkan dua syarat lagi selain anggaran yaitu prinsip ‘Studying is Playing, Tidak Baca Tulis’ dan tentunya ‘No Violence Against Children’.

TK yang  sudah disurvei yaitu  Happy Holy Kids, ABC Kids, Quantum, Gracia Laguna. Saya juga mendapatkan informasi tentang TK Permata Bunda dari teman, tetapi tidak mensurveinya. Semua TK tersebut berlokasi dekat dengan Komplek Taman Laguna, tempat tinggal Reva. Sebenarnya tergoda melihat Labschool dan BPK Penabur, tetapi lokasinya terlalu jauh dari rumah, jadi tidak jadi disurvei. 

Ternyata TK yang fasilitas fisiknya bagus seperti Quantum, ABC Kids, Permata Bunda dan Happy Holy Kids menarifkan SPP  per bulan antara Rp.500-700ribu dengan uang pangkal yang bisa mencapai Rp.7 juta. Ya Tuhan, belajar di TK aja kok mahalnya kayak kuliah Master saja!  Sekolah-sekolah ini bertempat di ruko, gedung dan komplek sekolah yang cukup luas. Fasilitas bermainnya sangat atraktif dan bermerk impor. Guru-gurunya cukup banyak, berseragam, terlatih dan kelihatan profesional. Tapi harganya semua lewat dari anggaran yang disepakati. Oke, bye!

Yang paling terjangkau akhirnya TK yang paling dekat yaitu Laguna Gracia dengan uang pangkal Rp. 3.5 juta dan SPP Rp. 300ribu/ bulan. Fasilitasnya tentu saja tidak sophisticated seperti sekolah lainnya. Adalah  TK sederhana, terletak di dalam rumah yang disulap menjadi sekolah usia dini. Ada alat bermain yang konvensional di halaman rumah. Hanya ada dua guru untuk tiga kelas (Playgroup, TK A dan TK B), tidak berseragam, kelihatan lebih rileks dan casual.

Oke, sekarang syarat kedua tentang Studying is Playing. Sudah dapat ditebak sebelumnya bahwa semua TK yang disurvei memiliki kurikulum untuk mempersiapkan anak masuk sekolah dasar (SD). Jadi anak-anak sudah diperkenalkan angka dan huruf. Sebenarnya sebatas ini oke. Tetapi ternyata Laguna Gracia mengajarkan menulis kalimat untuk anak  TK B. Gurunya menunjukkan hasil tulisan anak ajarnya dengan bangga. Dan tulisan anak TK B itu memang sudah rapih seperti tulisan orang dewasa! Guru itupun dengan bangga menjelaskan bahwa kurikulumnya berbeda dan sukses mempersiapkan anak masuk SD.

Yup, ini tidak sesuai dengan harapan saya yang ingin agar Reva diajar bermain saja, yang didalamnya terkandung pendidikan disiplin, sopan santun, menghargai orang lain, mandiri, dll. Anak seusia 4—5 tahun tidak seharusnya mengalami stres dini karena dituntut harus baca tulis. Mereka selayaknya bersenang-senang mendapatkan latihan kognitif dan motorik sesuai usianya.

Sebagian besar SD (di dalamnya guru-guru) di Indonesia ini sepertinya bersekongkol untuk hanya menerima murid baru yang sudah bisa baca tulis. Apakah guru-guru SD kita sudah sedemikian desperado sehingga inginnya mengajar 'starter kid'? Guru TK dan orangtua jadi ketakutan anaknya tidak bisa lulus masuk SD karena tidak bisa membaca dan menulis. TK-pun terpaksa mengikuti persengkongkolan ini dan memenuhi demand dari orang tua murid agar sekolahnya tetap diminati. Ini sudah menjadi sindikat persekolahan. Tetapi akhirnya saya mencoba memaklumi hal ini, meski menerima kebijakan yang tidak disukai seperti ini adalah salah satu kompromi yang menyebalkan. 

Anyway, pilihan tetap jatuh pada TK Laguna Gracia. Ujung-ujungnya adalah isu ‘kocek’. Anggarannya paling sesuai. Lokasinya juga dekat rumah, jadi tidak perlu tambahan biaya transportasi. Sedangkan syarat “no violence” akan dipantau selama Reva bersekolah dan via ‘kasak-kusuk’ dengan orangtua murid tentang pernah ada atau tidaknya kasus kekerasan di sekolah. 

Reva di depan TK Laguna Gracia

Oya, semua pilihan sekolah diperkenalkan kepada Reva untuk memberikan hak partisipasinya. Dia sebenarnya paling tertarik dengan Quantum, karena gedungnya yang ‘wah’ dan alat bermain yang besar dan megah yang dipajang di taman.  Namun, dia dijelaskan tentang kondisi sekolah dan keuangan maminya. Reva adalah anak yang sangat memaklumi hal-hal seperti ini.  Dia mudah mengerti dan akhirnya setuju bersekolah di Laguna Gracia. Oke Reva, selamat sekolah ya nak! Selamat bersenang-senang. Love you!

1 komentar:

  1. Halo.. salam kenal. Saya lagi mencari sekolah TK untuk anak saya. Sebenarnya saat ini anak saya sudah bersekolah di TK Mini Pak Kasur di Bogor.. sedangkan saya di Puri Sriwedari Cibubur. Hehehe iyaa jauh ya hahha. Tapi saya punya prinsip yang sama dengan Ibu mengenai bagaimana sebaiknya pendidikan anak di TK itu. Namun dengan tambahan, saya ingin bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia. Kita tinggal di Indonesia kan.. bukan di Eropa. Sedangkan di sebagian besar sekolah yang ada di Jakarta dan sekitarnya saat ini dengan bangganya memakai bahasa asing sebagai bahasa pengantar. Kelemahan dari hal itu adalah, anak-anak kita tidak dapat berbahasa Indonesia dengan benar dan baik, pun bahasa Inggris nya pun super ngaco. Banyak saya mendengar anak-anak dalam bersosialisai dengan orangtua dan teman-temannya berbahasa Inggris dengan gaya ke Amerika-an. Sangat ga sreg. Sempat saya mau daftarkan ke Quantum. Sayang, Quantum menerapkan jam belajar yang menurut saya keterlaluan. 7.30-1pm, 5hari seminggu, plus hari Sabtu untuk belajar agama (wajib). Saya ga suka sekali. TK ya TK. Ini diluar masalah biaya yang menurut saya juga terlalu besar untuk taman bermain.
    Akhirnya memang walaupun jauuuuh di Bogor.. anak saya mantap saya masukkan ke TK Mini Pak Kasur di Bogor. Selain saya alumni di sekolah yang sama namun cabang pusat di Jakarta, gurunya pun ada yang saya masih kenal, beliau pernah mengajar saya di tahun 80an. Saya merasa aman hehhe. Materi pengajaran masih sama seperti dulu. Sederhana, bermain sambil belajar, aman, nyaman bagi anak, dan orangtua diikutsertakan.. tidak ada pagar pembatas antasa orangtua dan anak. Bahasa pengantar tentu bahasa Indonesia, dan memanggil guru pun masih dengan Bapak Guru dan Ibu Guru.. sesuatu yang sangat jarang saya dengar akhir-akhir ini :)

    BalasHapus