Kali ini, yang saya ingin bahas dari UU no.1/1974 tentang Perkawinan adalah poligami. UU Perkawinan ini sepertinya telah dibuat dengan banyak pengaruh dari interpretasi ajaran agama Islam, yang memperbolehkan poligami sebagai sunnah Rasul. Di dalam agama lain, misalnya Kristen dan Katolik, poligami jelas tidak diperbolehkan. Saya tidak ingin membahas boleh tidaknya poligami dari sudut pandang agama, karena saya bukan ahlinya. Saya ingin membahas isi UU ini dari sudut pandang dan analisis gender.
UU ini jelas mengijinkan poligami, tetapi tidak untuk poliandri. Dari sini saja sudah terasa bahwa posisi laki-laki dan perempuan tidak seimbang. Ada pembedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pasal 4 dari UU Perkawinan, dikatakan suami boleh menikah lagi kalau tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri. Lah, kalau suami yang tidak menjalani kewajibannya bagaimana? Boleh tidak istri cari suami baru? Hal ini tentu saja tidak dibahas di dalam UU Perkawinan.
Disebutkan juga bahwa suami boleh menikah lagi kalau istri cacat badan atau berpenyakit yang tidak dapat disembuhkan. Sedangkan bila suami cacat atau berpenyakit, tidak ada pernyataan bahwa perempuan boleh menikah lagi. Hmmm, ini pasti soal seksualitas. Para penyusun pasal ini kemungkinan besar bermaksud menghubungkannya dengan kebutuhan seks laki-laki yang tidak terpenuhi bila istri cacat atau berpenyakit. Ini berarti laki-laki menikahi perempuan karena tubuhnya dapat memenuhi kebutuhan fisik laki-laki. Dan jika tubuh itu sudah tidak dapat memberikan kepuasan, suami boleh mencari tubuh yang lain. Selain diskriminatif terhadap perempuan, kok pasal ini jadi terdengar merendahkan martabat laki-laki, seolah-olah laki-laki barbar dan tidak memiliki hati yang tulus.
Masih di dalam pasal 4 UU Perkawinan ini, disebutkan bahwa suami boleh menikah lagi kalau istri tidak dapat memberikan keturunan. Hmm, bagaimana menurut Anda? Rasanya kok perempuan dinilai hanya sekadar tubuh dan rahimnya. Kalau rahimnya tidak berguna, laki-laki boleh cari rahim lain. Padahal, banyak juga lhooo laki-laki yang mandul. Tetapi di dalam hukum, tidak ada dispensasi bagi perempuan yang suaminya mandul untuk boleh menikah lagi.
Memang ada syarat bagi suami untuk menikah lagi, yaitu asalkan mendapatkan ijin dari istri atau istri-istri, asalkan ada kepastian bahwa suami dapat memenuhi keperluan hidup dan ada jaminan bahwa suami berlaku adil kepada istri-istri dan anak-anak. Tetapi bagaimana sih menakar ‘adil’? Dan seperti apa jaminannya? Adakah kasus poligami yang memberikan keadilan? Bahkan Teh Nini saja akhirnya tidak tahan dengan poligami dan akhirnya minta cerai dari Aa Gym. Dia tidak dapat lagi menyembunyikan tekanan yang dirasakan. Apa lagi kalau bukan karena kurang merasakan keadilan? Seluas apapun hati perempuan yang menerima poligami, pastilah ada ketertekanan dari rasa cemburu dan ketidakadilan.
UU Perkawinan menunjukkan lemahnya posisi perempuan di mata hukum. Di negara ini, perempuan tidak terlindungi dalam berumahtangga, lebih tepatnya terancam ditinggalkan suami bila dirinya cacat, berpenyakit, atau mandul. Perempuan juga lebih banyak dituntut dengan kewajiban, sementara laki-laki lebih banyak mendapatkan hak. Isi dari UU ini adalah egoisnya laki-laki. Habisnya disusun oleh laki-laki sih. Isinya juga kurang menghargai makna pernikahan yang sesungguhnya, yaitu bukan hanya soal tubuh, tetapi tentang cinta kasih yang tulus dalam kebersamaan, di mana pasangan diharapkan setia dalam suka maupun duka, dalam kesenangan maupun kesusahan.
Apakah Anda masih ingin poligami dibolehkan secara hukum? Saya tidak mau!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar