Kamis, 29 Maret 2012

Hurraay, Lulus ASI Eksklusif!

Hiperdepiippp Hurraayy!

Akhirnyaaaa, tim ini lulus ASI Eksklusif 6 (enam) bulan!



Terimakasih untuk Little Big Rei (6 bulan, 8.7 kg, 68 cm) yang sudah menjadi food manager, mengatur momma dalam supply-demand ASI. Terimakasih untuk semua jenis tangisanmu, senyummu, tawamu nak, yang membuat diri momma mengenalmu lebih dalam dan dalaaamm lagi.

Terimakasih untuk saya sendiri atas tekad, konsistensi dan kesabaran *terharu, lap ingus*

Terimakasih untuk Addies yang sudah jadi Bapak ASI (breastfeeding father) dan membantu menciptakan situasi yang rileks dan menyenangkan. Terimakasih karena sudah mengipasi kami berdua, mengumpulkan bantal-bantal untuk bersandar, mengatur posisi ketika Rei minta minum tetapi saya sedang terlelap, terbirit mengambilkan tetek bengek ketika aktivitas menyusui berlangsung (washcloth, celemek, mangkuk untuk ASI yang ngocor), men-sterilkan botol dan gelas, memberikan Rei minum ASI, menjelaskan kepada keluarga dan handai taulan tentang komitmen ber-ASI eksklusif, berdiskusi dan menghibur agar saya terbebas dari berbagai macam tekanan dan supaya ASI tetap lancar, dll... dll...dll.

Terimakasih untuk ibu dan mertua yang mendukung penuh pilihan saya. Ibuku sayang, terimakasih telah menggoda-godaku untuk memberikan makanan padat kepada Rei lebih cepat. Aku jadi tambah belajar untuk konsisten. Hueheheh.

Terimakasih untuk babe (bapak) yang mencarikan daun Bangun-bangun sampai ke pelosok pasar Senen. Tetapi maaf ya babe-ku, tak tahanlah aku dengan bau langu-nya. Cat: Daun Bangun-bangun dimakan untuk meningkatkan ASI (fungsinya seperti daun katuk), biasanya dimasak dengan ayam kampung menjadi sup. Resep ini umumnya diketahui oleh keluarga Batak. Nah, sekarang kamu tahu juga kan?

Terimakasih untuk sahabat, saudara dan internet yang memberikan berbagai informasi seputar ASI, hingga membuat saya tersadar bahwa AKSES INFORMASI adalah yang paling dibutuhkan oleh perempuan menyusui untuk menyukseskan ASI Eksklusif, selain dukungan suami dan keluarga.

Jumat, 23 Maret 2012

Sesuatu Banget yang Tidak Bisa Kumakan (Part 4)

Wooww, sudah banyak juga daftar makanan yang nangkring di meja makan, tetapi tidak bisa saya makan. Orang-orang di rumah sengaja menggoda saya untuk mengendalikan nafsu dengan menyajikan makanan berpotensi alergi pada Little Big Rei. Kali ini yang disajikan adalah Sambal Teri

Sambal Teri
Bahan: teri medan, bawang merah, cabe hijau, minyak goreng (sawit atau zaitun)

Cara membuatnya:
- Goreng ikan teri medan dengan sedikit minyak, sambil diaduk-aduk. Hati-hati, ikan teri mudah matang sebelah kalau tidak diaduk-aduk.
- Buat sambal: ulek bawang merah dan cabe hijau, lalu tumis. Takaran sesuka saja lah.
- Campurkan teri goreng ke dalam sambal 
 Mudah sekali kan?

Karena saya masih menyusui Rei, maka lap iler aja nyoook.


Fried Portabella

Ini sambungan dari posting saya berjudul Mushrooms Lover. Jamur lainnya yang saya suka adalah jamur portabella (Agaricus brunescens). Jamur ini sebangsa dengan jamur kancing (Agaricus campestris). Bedanya kalau jamur kuping berwarna putih di sekujur tubuhnya, jamur portabella berwarna cokelat di punggung dan berwarna hitam di balik punggungnya. Ukuran portabela agak lebih besar dari jamur kancing.

Jamur Portabella yang dibeli di Superindo, Harga Rp.13,000.-/box, isi 4 jamur

Ada banyak khasiat jamur portabella, yaitu protein dengan rendah lemak dan serangkaian vitamin dan mineral seperti  B-kompleks-riboflavin, niacin, panthotenat, Natrium, Kalium dan Selenium. Karena senyawa dan anti oksidan yang dimilikinya, jamur ini dipercaya dapat membantu regenerasi sel-sel tubuh, mencegah kanker, mengatasi diabetes melitus dan menjaga kebugaran tubuh. Uraian lebih detil tentang khasiatnya bisa ditengok di sini.  


 

Buat saya, semua jamur paling enak digoreng tepung *padahal males cari resep*. Portabella ini jadi korban ditepungin lagi deh. Tepung beras dicampur bawang putih, garam, ketumbar secukupnya. Terus digoreng deh! Yummyyyyy...




Kamis, 22 Maret 2012

Berbahagia Perempuan Batak Lajang!

Di suatu malam yang suntuk, setelah membobokan Little Big Rei, saya chatting dengan teman saya dan dia bercerita tentang temannya, seorang perempuan Batak lajang, yang dilangkahi adiknya menikah. Ompungnya bilang bahwa nilai jual dirinya sudah rendah karena dilangkahi. Dia menghayati ucapan ompungnya itu dan jatuh sakit. Panas tinggi, seperti Typhus atau DB.

Saya prihatin. Mengapa hal seperti itu bisa terjadi?

Pikiran saya melayang ke saat di mana saya masih lajang. Ibu saya pernah mengeluh: “Kamu memang sukses berkarir, bisa pergi kemana-mana. Pendidikanmu tinggi. Tapi satu kekuranganmu, belum menikah.” Saya membatin: “I’m comfortable at this, mom.” *maaf ibuku sayang, aku cerita di sini huehehe*.  

Kala itu saya berusia 33 tahun, sudah acuh tak acuh dan bosan  menjawab pertanyaan: “Kapan menikah?”, “Kapan menyusul?”. Yang bertanya malah kebanyakan saudara yang bukan dari keluarga inti. Saking bosannya, saya anggap pertanyaan seperti itu abusif karena menciptakan tekanan psikologis. Apalagi karena pertanyaan itu snowballing dengan prejudices, misalnya “Jangan terlalu sombong lah”, “Jangan lihat tampangnya doang, yang penting hatinya” atau “Mengapa pilih-pilih?”. Nah, pada prejudice yang terakhir, saya benar-benar bingung mengapa jenis pertanyaan itu perlu dilontarkan? Selain karena memang tidak ada pilihan *nggak lagi pedekatean*, juga karena bingung kenapa tidak boleh pilih pasangan hidup yang katanya harus sehidup semati, sementara untuk beli bakwan jagung saja saya pilih-pilih *yang kriuk-kriuk*?  

Terkadang orang memandang kasihan terhadap perempuan lajang berusia di atas 30 tahun. Menganggap mereka tidak normal. Tidak laku. Tidak bahagia. Pesakitan. Dan ditakut-takuti pula tentang rendahnya nilai diri mereka bila tidak menikah.

Mengenang bagaimana saya melewati tahapan ini, saya merasa beruntung menjadi orang yang acuh tak acuh. I made a simple deal. Supaya tidak ditanya-tanya kapan menikah, saya tidak datang ke acara pernikahan dan arisan batak dan punya seribu alasan untuk menghindar. Untungnya dulu jam travel saya cukup tinggi, jadi tinggal bilang saja saya akan berpergian di jadwal itu. Dan karena saya masih nge-kos, tidak ada keluarga yang tahu apakah saya bohong atau tidak. Hueheheh. 

Nah, kembali ke teman chatting saya ini. Ternyata dia melakukan hal yang sama! Dia lajang  dan menghindari acara pernikahan batak, meski yang melangsungkan pernikahan adalah sepupunya. Dia juga sering ‘mati jawaban’ kalau ditanya kapan menikah. 

Sebenarnya apa yang membuat risau perempuan lajang batak? Dalam adat batak, ada Dalihan Na Tolu (DNT) yaitu konsep tungku berkaki tiga, yang menggambarkan tiga kedudukan fungsional yang berlaku dalam masyarakat Batak. Ketiga kaki tungku terdiri dari pertama, Somba Marhula-hula atau sembah/hormat kepada keluarga pihak istri, kedua, Elek Marboru atau sikap membujuk/mengayomi perempuan/istri dan ketiga, Manat Mardongan Tubu atau sikap hati-hati kepada teman semarga.

Nah, pertanyaannya, di manakah posisi perempuan yang belum menikah? Jawabannya tidak ada. Ya, perempuan lajang Batak tidak punya tempat dan relasi di adat Batak. Karena itu, perempuan yang belum menikah dianggap aneh dan kurang komplit. Perempuan harus menikah dulu agar memiliki status dan posisi. Banyak perempuan lajang Batak tertekan akan tuntutan menikah dan akhirnya menikah juga karena terdesak. 

Di sisi lain, laki-laki lajang yang sudah tua dan belum menikah sebenarnya juga dianggap aneh, tapi masih punya kedudukan, misalnya masih boleh menemani ibunya (yang janda) untuk mangulosi (memberi ulos atau berkat) dan mempunyai hak ‘tulang’ (saudara laki-laki dari ibu) dan boleh mangulosi keponakannya. Little Big Rei diulosi oleh Danny, adik laki-laki saya yang belum menikah. Sedangkan perempuan lajang dalam adat batak ?  Mojok di ruangan, bekerja di dapur, melayani orang-orang, bermain dengan gadget, dan kalau sudah kelelahan, geram membayangkan kapan acara ini selesai dan kapan semua orang pulang.

Ketika saya menikah pada usia 35 tahun, akhirnya pecah juga 'bisul' orangtua saya. Mereka menangis terharu dan bergembira ria. Saya terharu juga sih. Tetapi semua terasa pas waktunya. Saya tidak pernah merasa terlambat menikah *memang siapa sih yang punya kekuasaan menetapkan deadline menikah?* Saya juga tidak merasa perlu menyatakan ungkapan klasik: “ternyata enak menikah, kenapa nggak dari dulu?”. Buat saya, ‘semua indah pada waktunya’ adalah nasehat sejati.

Saya juga percaya bahwa ada pilihan lain selain menikah, yaitu tidak menikah atau menunda menikah. Perempuan berhak memilih-memutuskan dan orang lain seharusnya menghargai pilihan ini. Pun kebahagiaan sejatinya berupa self-sufficiency atau self-content, bukan bergantung pada orang lain (mis: pendamping hidup). Banyak perempuan lajang merasa nyaman dan berbahagia dengan situasinya. Mereka bahkan berkontribusi dan berdedikasi secara maksimum bagi keluarga dan masyarakat. Nilai mereka justru perlu ditinggikan.  

Juga dapat dibuktikan kok bahwa pernikahan bukanlah life milestone yang paling membahagiakan. Banyak pasangan memiliki pernikahan hambar dan terpaksa bertahan demi anak. Banyak yang sudah menikah merindukan saat-saat lajangnya dan ingin lajang kembali. 

Jadi, untuk teman-teman saya, perempuan batak lajang, selamat berbahagia ya!

Sabtu, 17 Maret 2012

Perempuan, Air Bersih dan Pemerintah yang Intoleran

Dalam sebuah lokakarya di Solo beberapa bulan lalu tentang pentingnya menggunakan analisis gender dalam pengelolaan air bersih, seorang Bapak dari Dinas Pekerjaan Umum, yang duduk di samping saya, menumpahkan kekesalan di kursinya. Dia berbicara dengan rekannya: “Kenapa sih, lagi ngomongin air bersih, pakai membeda-bedakan laki-laki dan perempuan? Apa hubungannya? Ini gender-genderan nilai Barat yang masuk ke Indonesia.“

Selanjutnya ketika narasumber melanjutkan pembicaraan tentang relasi peran antara laki-laki dan perempuan, si Bapak ini mengoceh lagi di kursinya: “Itu sudah ada di agama. Memang istri melayani suami. Laki-laki itu pemimpin. Kenapa harus dipertanyakan?

Sayangnya saya bukan pembicara saat itu, hanya pemantau lokakarya.  Dan sayangnya pula, si Bapak ini hanya mengomel di kursinya dan tidak mengekspresikan di forum, jadi narasumber tidak menyadari bahwa ada yang uring-uringan mendengar kata ‘gender’.  

Sudah berkali-kali melatih tentang gender, menyaksikan kontra seperti ini bukan hal baru buat saya. Sambil kasihan melihat Bapak ini gelisah, saya bertanya pada diri sendiri: “Hmm, perlu ditanggepin gak ya? Saya kan cuma observer di acara ini.”

Tapi akhirnya lidah ini nyerocos juga. Saya menoleh ke Bapak ini seraya tersenyum dan berkata: “Pak, coba deh dibayangkan. Istri bapak sehabis bangun pagi langsung ketemu apa dulu? Air kan pak? Mau nyuci, mau masak. Kalau pagi-pagi, mungkin bapak santai ngopi-ngopi. Nah itu kopi yang Bapak minum asalnya dari air bersih bukan? masak Bapak mau air kotor? Nah, perempuan itu lebih dekat dengan air daripada laki-laki. Karena perannya banyak berhubungan dengan air. Kalau tidak ada air bersih, perempuan yang lebih stres daripada laki-laki, pak!”

Si bapak dari Dinas Pekerjaan Umum ini bergumam sesuatu. Mulutnya komat-kamit, seperti sedang bicara ke teman sebelah kanannya *saya di sebelah kirinya*.  Kurang jelas si Bapak tidak puas akan pernyataan saya yang mana. Saya nyerocos lagi: “Ini lokakarya maksudnya agar peran perempuan yang berhubungan dengan air diperhitungkan, pendapat perempuan juga didengar dalam manajemen air bersih. Gitu pak! Bukan maksudnya perempuan ingin di atas laki-laki.”

Syukurlah si Bapak agak lebih tenang. Saya pikir ‘kena nih’ ilustrasinya. Eh tak taunya, dia menoleh ke belakang, kasak kusuk lagi dengan teman-temannya, bicara lagi bahwa konsep gender menentang agama.

Hadeeehh. Capeeek deh. Bagaimana memajukan perempuan di desa yang kesulitan mengakses dan mengontrol air bersih, kalau pemerintahnya (Dinas Pekerjaan Umum lhoo) tidak terbuka dengan kesetaraan dan keadilan gender?  Banyak keluarga miskin dan terpencil mengalami buruknya kesehatan akibat kelangkaan air, dan yang pusing tentang masalah ini adalah perempuan. Mereka juga kurang dilibatkan dalam perencanaan pembangunan, jadi kebutuhannya tidak terwakili.

Entah mau dibawa kemana pembangunan yang pelaksana negaranya masih intoleran terhadap kesetaraan gender. Padahal penduduk Indonesia kan fifty-fifty laki-laki dan perempuan. Negara mendapatkan keuntungan dari hadirnya laki-laki dan perempuan (pembayaran pajak, melaksanakan tanggungjawab produksi, reproduksi dan sosial untuk memelihara kelangsungan hidup manusia), maka laki-laki dan perempuan juga seharusnya sama-sama berhak menikmati pembangunan sesuai kebutuhan dan prioritasnya.   

Semoga suatu hari Bapak Dinas PU itu mengalami pencerahan, entah datangnya dari mana.  :-))

Rabu, 14 Maret 2012

Sukun Tralala

Ketika hamil, saya tidak mengidam. Ah, anakku, Little Big Rei memang pengertian sekali. Tetapi ketika hamil tua, saya ingin sekali makan sukun, bukan ngidam kok, cuma kepengen saja. Kalau tidak terpenuhi, masih bisa ditahan-tahan. Ini karena saya melihat pohon sukun tetangga sedang berbuah. Jadi liur menetes deh.

Dengan 'muka tebel', saya minta buahnya ke tetangga, sambil pakai alasan lagi hamil dan mengidam. Tetangga segera tergopoh-gopoh mengambilkan tongkat untuk menyodok buahnya *takut dosa tidak mengabulkan permintaan bumil*. Saya pulang ke rumah membawa sukun dan Rei di dalam perut, tersenyum sambil bernyanyi-nyanyi: "tralalaaaa trililiiiii, senangnya rasa hati..."

Addies agak malu ketika menemani saya minta-minta sukun ke tetangga dan akhirnya berjanji akan membawakan sukun dari hasil panen di komplek rumah mertua saya di Cimahi.Tetapi, suatu waktu dia pergi ke Cimahi, dia lupa tuh bawa oleh-oleh sukunnya. *Ggrrrrr....mana janjimuuuu???*

Sebagai gantinya, beberapa minggu lalu, mertua saya mengunjungi Rei dan membawakan buah sukun. Tidak tanggung-tanggung, yang dibawa lima buah sukun! Bagaimana rasanya dibawakan mertua makanan kesukaan? Senang lah pastinya. Ge-eR. Merasa disayang.


Lima buah sukun. Tralala...trilili, senangnya rasa hati.

Buah-buah ini hasil petikan di sekitar komplek rumah Kotamas Sangkuriang, Cimahi. Komplek ini unik sekali. Pengembangnya sadar akan bermanfaatnya pohon produktif, dan menetapkan sukun sebagai pohon komplek. Jadi pohon sukun ditanam di depan setiap rumah dan pinggir jalan. Asyik deh. Saya bertekad akan menanam pohon sukun nantinya di depan rumah sendiri.

Sukun paling enak digoreng atau dikukus dan ditambah kelapa parut. Yummy... Rasanya seperti rasa umbi-umbian, tetapi lebih lunak. Teksturnya empuk seperti roti. Karena sifatnya karbohidrat dan serat, buah ini mengenyangkan. Mungkin itu mengapa buah sukun sering disebut buah roti atau breadfruit.



Ada pepatah bilang, kalau ada pohon sukun ditanam di rumah, dijamin anggota rumah tidak akan kelaparan. Saya pernah lihat pohon sukun tetangga berbuah di musim hujan dan astagaaaa, banyak sekali buahnya. Ada buah di setiap cabang dan kalau semuanya dimasak pasti bisa memberi makan orang sekomplek.


Pohon sukun yang sudah bisa berbuah



Pohon sukun muda yang belum berbuah
Pohon sukun yang masih kecil
Ternyata beberapa hasil penelitian menemukan bahwa air rebusan daun sukun juga bermanfaat lhoo untuk mengatasi gangguan ginjal, liver dan jantung. Di link ini, ada cara merebus dan takarannya. Saya sendiri belum mencoba.

Coming Soon: Rei-Led Weaning

Tak terasa Little Big Rei sudah berusia 5 bulan 18 hari. Berarti tinggal 12 hari lagi, saya dan Rei akan lulus ASI Eksklusif. Berarti segitu hari lagi jugalah, Rei sudah bisa makan makanan padat. Saya tak sabar lagi menunggu hari itu. Rasanya Rei juga sudah tak sabar untuk makan, karena dia selalu terpana bila saya dan orang sekeliling memasukkan makanan ke mulut dan mengunyah. Dia ikutan mengunyah ludah. Kepalanya masih sedikit oglek-oglek, tetapi dia ingin duduk tegak terus. Sebentar lagi, rasanya dia bisa duduk di kursi makan.

Dari hasil internet browsing sampai hampir ketiduran di depan laptop, dan hasil diskusi panjang dengan Addies, akhirnya kami memutuskan agar Little Big Rei menjalani MPASI dengan metode Baby Led Weaning (BLW). Lalu, saya membeli buku BLW yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, langsung dari sang alih bahasa, yaitu mbak Adhya Utami Larasati. Bukunya bisa dibeli di page ini.

Metode BLW adalah penyapihan bayi, berupa pemberian makanan padat, yang dipimpin atau dikendalikan oleh bayi (baby-led). Ini sebuah metode yang berbeda dari MPASI konvensional, yaitu pemberian makanan padat seperti bubur atau puree dengan cara menyendoki bayi (spoon-feeding). BLW mempercayai bahwa bayi yang sudah mendapatkan ASIX atau sufor  selama 6 (enam) bulan tanpa tambahan lain telah memiliki sistem pencernaan yang baik dan bisa meloncati tahapan makan bubur dan puree, tahapan yang dilalui pada jaman dulu, ketika ASIX hanya diberikan dalam 3—4 bulan.

Dengan metode BLW, bayi diberikan kesempatan untuk makan makanannya sendiri. Keuntungan metode ini banyak sekali:
  • Bayi menjadi aktor yang aktif, bukan pasif (hanya menerima disendoki). Sejak awal penyapihan, bayi sudah diberi kesempatan untuk makan sendiri. Bayi memutuskan kapan makan, kapan kenyang dan kapan mengakhiri kegiatan makan.
  • Bayi belajar ketepatan motorik, dengan meraih, menggenggam dan memasukkan sendiri potongan makanan padat ke mulutnya. Bayi  juga melatih otot rahang dengan mengunyah, meski tanpa gigi.
  • Bayi menjadi penikmat makanan. Dia mengenal dan mengeksplorasi tekstur, rasa dan warna makanan. Sedangkan bila makan bubur atau puree, yang rata-rata bertekstur sama, bayi tidak mengenal bentuk dan tekstur makanan yang aslinya.
  • Mengurangi resiko bayi menjadi picky eater (pemilih makanan) dan GTM (Gerakan Tutup Mulut) yang sering ditemui dalam pemberian makan dengan menyendoki (spoon-feeding).

Metode BLW dikembangkan oleh Gill Rapley, tetapi diakuinya bukan hal yang baru. Rapley mengungkap bahwa banyak ibu sebenarnya sudah melakukannya. Karena harus mengerjakan pekerjaan domestik lainnya, para ibu tanpa sengaja meninggalkan anak kedua dan ketiga di kursi makan dengan makanan di atas tray. Ternyata selama ditinggal, bayi-bayi ini terampil memakan makanan sendiri. Setelah cara ini dilanjutkan, diketahui bahwa bayi-bayi ini jarang menolak makanan dan makan lebih cepat dari anak sulung yang disendoki. Namun para ibu tidak berani mengungkap cara ini kepada orang lain karena takut dituduh menyalahi kebiasaan atau aturan. 

Di sisi lain, beberapa orangtua menolak menerapkan BLW ini karena takut bayinya tersedak. Tetapi Rapley meyakini bahwa bayi belum memiliki kemampuan memasukkan makanan hingga ke pangkal lidah bagian dalam. Bayi tersedak malahan lebih sering ditemui dalam metode spoon-feeding, karena sendok makanan sering dimasukkan ke mulut bayi terlalu dalam. Dalam BLW, syarat utama adalah bayi harus didudukkan secara tegak, bukan bersandar. Pengasuh juga dilarang untuk memasukkan makanan ke mulut bayi. Bayilah yang harus melakukannya. Seterusnya, dia akan lebih sering melepeh, daripada tersedak.

Ketika pertama kali membaca literatur tentang BLW ini, jantung saya berdesir, excited! Inilah yang saya butuhkan.

Pertama, karena saya parno melihat bayi-bayi di komplek rumah orangtua saya yang disendoki bubur sambil digendong berjam-jam atau berjalan-jalan di taman. Para ART mengeluh tentang lamanya waktu memberi makan, sambil menunjukkan tanda kemerahan di pundaknya akibat tekanan gendongan dan berat bayi. Padahal bayi-bayi itu sudah memiliki gigi dan bisa berjalan. Mengapa tidak diberi kesempatan makan sendiri sih? 

Kedua, saya parno melihat Reva, keponakan saya, yang sangat pilih-pilih makanan, susah makan sayur dan buah. Juga perlu waktu lama menyuapinya.

Ketiga, saya ingin merasakan keseruan ini dan ingin Rei memimpin penyapihannya sendiri, seperti Rei memimpin saya dalam menyediakan ASI. Saya sudah mendapatkan ‘feeling’ kalau dia siap untuk mengikuti BLW ini, karena dia sudah terampil  menyedot, menghisap dan mengecap.  Tangannya juga sudah dapat meraih barang secara tepat.

Keempat, BLW ini tidak membutuhkan alat-alat penghalus makanan seperti dalam metode spoon feeding. Bayi dapat memakan makanan orang dewasa, asalkan berukuran sekepalan tangannya dan tentunya tidak bergula garam. BLW nyaris tidak membutuhkan alat bantu spesial kecuali kursi makan bayi. Kursi inipun pada bulan-bulan awal kurang diperlukan, karena  bayi bisa dipangku. Selain ekonomis, metode ini menghemat waktu dan mengurangi beban pengasuh. Cocok sekali untuk saya, si momma cuek :p

Psst...psst, sebelum memulai BLW ini, saya menguji kesiapan Rei (fisik) dan saya (mental) untuk menjalani metode ini. Kebetulan minggu lalu, ART menghidangkan lalapan kesukaan keluarga: wortel, buncis dan labu, tanpa gulgar. 

Lalapan keluarga
Saya memangku Rei di depan meja makan. Rei menarik-narik piring lalapan, memegang-megang buncis, tetapi belum bisa mengambilnya (mungkin karena bertumpuk?). Saya coba sodorkan satu batang. Dia meraih buncis dengan tepat dan mencoba memasukkan ke mulut. Beberapa kali dia berhasil, tetapi ada kalanya kesulitan memasukkan buncis ke mulut. Dia mengunyah dan menghisap sari-sarinya sampai buncis gepeng. Ternyata betul, bayi yang tidak punya gigi bisa mengunyah dengan gusi, lidah dan ludah. Jika buncis jatuh atau patah dan terlepas dari tangannya, dia memekik kesal dan menangis-nangis. Ketika diberikan batang buncis yang baru, dia senang dan langsung asyik mengeksplorasi.

Selanjutnya, saya menyodorkan wortel. Dia juga menyedotnya, tetapi kelihatannya agak mengalami kesulitan dibanding buncis yang berair lebih banyak. Tetapi ini asyiknya. Dia merasakan tekstur makanan yang berbeda-beda.


Rei dan eksplorasi wortel
Berhubung ini hanya latihan, saya hanya memberikan Rei beberapa batang wortel dan menyetop kegiatan ini. Juga karena saya merasa bersalah, Rei belum lulus ASIX. Tetapi, Rei langsung meraung marah. Dia kepingin lagi. Kasihan saya melihatnya. Dia sudah siap makan, tetapi harus menunggu 12 hari lagi.

Coming soon, nak. Sabar yaa!




Jumat, 09 Maret 2012

Rookie Mom and the Assistant (Part 2)

Apakah para ibu tahu bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sedang dibahas? Begitu juga penyusunan Konvensi Internasional PBB Mengenai Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga ( UN International Convention Concerning Decent Work for Domestic Workers),  sedang berada pada tahap mengumpulkan input dari masyarakat sipil dan akar rumput (grassroot).

Selama ini hubungan PRT-majikan berada di ranah privat dan tertutup dari pihak luar. Perlakuan the Rookie Mom (saya) terhadap Mbak Sina (the Assistant) misalnya, tidak dapat diketahui oleh masyarakat publik. Karena itu, Mbak Sina termasuk kelompok rentan yang bila mengalami pelanggaran HAM oleh saya, sulit dideteksi dan dilindungi oleh publik dan penegak hukum. Mbak Sina tidak memiliki kekuatan hukum dan wadah pengaduan bila sedang memerlukan. 

Dengan instrumen hukum, maka nasib PRT bukan lagi berada pada ranah privat atau rumahtangga, tetapi pada negara (dutybearers) yang bertanggungjawab melindungi mereka dengan hukum. Termasuk di dalamnya peraturan mengenai hak upah, jam kerja, libur atau cuti, perlindungan dari kekerasan, dll. Aktivis isu perempuan sedang memberi masukan pada RUU Perlindungan PRT ini untuk memastikan isinya melindungi hak-hak PRT ini. 

Ketika berdiskusi dengan mahasiswi yang ingin memilih topik tesis tentang RUU Perlindungan PRT, dia memberikan informasi bahwa ada wacana menetapkan gaji PRT menjadi minimal Rp.1,500,000.- per bulan.  Saya setuju sekali dengan kebijakan untuk melindungi hak PRT. Tetapi, saya lantas berkaca pada diri sendiri. Apakah keluarga saya mampu membayar gaji mbak Sina sebesar itu? Kalau mampu, apakah mau? Bagaimana dengan keluarga yang berpenghasilan pas-pasan, tetapi sangat membutuhkan PRT agar sang ibu masih bisa berkarir? 

Sebagian besar PRT adalah perempuan. Ini tidak terlepas dari stereotipe gender dan ekspektasi masyarakat, bahwa mengurus rumah tangga lebih cocok dikerjakan oleh perempuan (cat: jenis pekerjaan lainnya pun bergender karena stereotipe gender dan kadang ini tidak adil). Sementara itu, peran tradisional mengasuh anak dan merawat rumah tangga masih diemban juga oleh perempuan (ibu/istri).

Nah, saya tergelitik untuk mengetahui bagaimana RUU PRT ini menyeimbangkan situasi keduanya: melindungi PRT, tetapi memberikan dukungan yang kondusif bagi para ibu, yang banyak dituntut perannya oleh Negara dan masyarakat, misalnya memberikan ASI eksklusif, menjadi ibu rumah tangga (sesuai UU Perkawinan jadul yang saya bahas di sini). sebagai penyangga ekonomi negara lewat UKM, dll. Bagaimana Negara mempertimbangkan hal ini? 

Isu lain adalah perekrutan PRT berusia anak (di bawah 18 tahun). Di dalam UU no.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, jelas diatur bahwa anak-anak tidak boleh melakukan pekerjaan yang membahayakan (hazardous work). Menurut saya, pekerjaan rumah tangga adalah salah satu pekerjaan yang membahayakan untuk anak, karena jam kerja yang panjang dan jenis pekerjaan yang melelahkan (mencuci, mengepel, memasak). Tetapi ada wacana untuk membolehkan anak untuk bekerja sebagai PRT, dengan ketentuan bahwa anak hanya boleh bekerja maksimal selama 4 jam dan boleh bersekolah. Lalu siapakah yang akan memantau hal ini? Begitu banyak rumah tangga yang harus dipantau dan anak yang harus dilindungi. Akankah Negara mampu melakukannya?

Setiap kali menyusun RUU,  memang yang tersulit bagi para penyusunnya (anggota DPR, staf ahli dan masyarakat sipil) adalah membuat UU implementatif dan efektif, memiliki definisi yang sederhana, mudah dimengerti, punya prasarana dan secara realistis dapat dilaksanakan. Bila tidak, polisi dan jaksa tidak dapat atau tidak mau menggunakan RUU ini untuk melindungi PRT atau malah banyak ibu rumah tangga masuk penjara?

Rookie Mom and the Assistant (Part 1)

Sejak Little Big Rei lahir hingga berusia tiga bulan, saya dan Addies merawat Rei tanpa ART (asisten rumah tangga) dan babysitter. Saya masih menumpang di rumah orangtua, yang anggotanya tidak banyak bisa membantu saya, karena memiliki kesibukan sendiri: merawat ibu saya yang menderita kanker payudara dan yang lainnya bekerja. Ibu saya sendiri patah hati karena harus terbaring di tempat tidur pasca kemoterapi dan tidak bisa ikut merawat Rei. Sedangkan mertua tidak tinggal di Jakarta. Dalam beberapa hari di awal, saya sedikit mendapatkan coach dari kakak saya, Vera. Tetapi setelah itu, situasi membuat saya harus belajar banyak hal secara mandiri, di tengah kesakitan pasca Sectio Caesaria dan kekalutan baby blues.

Kini saya merasakan bahwa memang benar tidak ada jam kerja dan jadwal istirahat yang pasti untuk seorang ibu. Sejak menjadi rookie mom, hidup saya berubah drastis. Entah mengapa saya yang dulunya doyan tidur bisa beradaptasi dengan kondisi tidur yang hanya tiga jam sehari? Dan betapa tersiksanya menyusu Rei pada saat mengantuk berat, amat haus dan kebelet pipis dalam waktu bersamaan. Juga entah darimana kekuatan berlama-lama menggendong bayi yang kian bongsor? Ibarat atlit angkat besi, yang ditambahkan beban sedikit demi sedikit, lama-lama terbiasa mengangkat besi dalam kemampuan maksimum. 

Ketika hamil, saya parno kalau harus memandikan bayi merah di bak mandi. Tapi dengan sedikit mendapatkan konsultasi di RS, ditambah naluri dan intuisi, timbul keberanian saya untuk memandikan Rei yang masih merah dan ringkih. Pada akhirnya semua dapat dilakukan karena belajar. Life’s indeed learning. Dan kata siapa hanya perempuan yang memiliki naluri merawat bayi? Laki-laki juga bisa, asal mau belajar. Addies mendapatkan cuti selama dua minggu sejak Rei lahir *hebat kantornya euy*, dan tandem dengan saya dalam berbagai perawatan Rei. 

Tangisan demi tangisan Rei pun kami maknai. Tebakan sering salah. Mengira kolik, ternyata growth spurt. Mengira growth spurt, tak tahunya alergi. Kadang untuk membuatnya tenang hanyalah menepuk pantatnya, tetapi kadang tidak ada jawaban apapun atas tangisan. Di kala Rei tidur, saya mandi kilat seperti kesetanan, agar Rei tidak keburu bangun dan menangis karena saya tidak di sampingnya *pantas daki kok gak ilang-ilang? * Pernah saat mandi, tangisan Rei terngiang-ngiang di telinga. Saya buru-buru handukan, dan meski ada sabun tersisa di badan, saya terbirit ke kamar. Rei masih terlelap dengan manis di tempat tidur. Ternyata, saya berhalusinasi. Hari demi hari berlalu, kegugupan dan kepanikan berkurang dan saya sudah bisa menghadapi tangisan Rei lebih santai dari sebelumnya.

Setelah merasakan sendiri dunia motherhood, saya menjadi sangat salut pada para ibu yang berkeputusan merawat anak dan rumah tanpa ART atau babysitter.  Bisa jadi mereka tidak mampu membayar gaji atau punya pengalaman buruk atau ingin merasakan kepuasan dalam mengerjakannya sendiri? Tentunya semua itu pilihan. 

Saya sendiri akhirnya memutuskan untuk bekerja dengan ART. Karena tidak mampu menggaji babysitter, dan karena mendengar babysitter kadang juga kurang memuaskan, maka saya merekrut ART saja. Suatu anugerah yang tak terhingga, ketika Rei memasuki usia empat bulan, kami mendapatkan asisten bernama Sina (27 tahun). Dia belum punya pengalaman merawat anak, bahkan tidak bisa menggendong bayi.  Tetapi buat saya, ART tidak perlu punya segudang pengalaman. Toh saya juga rookie. Yang penting dia mau belajar, jujur dan ikut merawat anak saya dengan kasih sayang. Lambat laun, dia belajar mengasuh Rei dan senang menggendongnya. 

Lega rasanya ketika beban ini terbagi dan mbak Sina sudah membantu saya:
  • Mengurangi sakit punggung.
  • Mengatasi rasa marah dan frustasi akibat kelelahan fisik.
  • Memberikan sedikit waktu untuk diri sendiri: tidur, dipijat, membersihkan daki, belanja, nge-blog, dll. Blog ini hanya bisa dimulai ketika mbak Sina bergabung.
  • Mengurangi beban mental dan kekhawatiran bahwa semua pekerjaan akan tidak selesai dalam sehari: mencuci-menyetrika pakaian, menyapu, mengepel, membereskan tempat tidur, memeras ASI, menangani urin dan pup, menidurkan, memandikan dan mengajak Rei bermain. Kini saya bisa berbagi beban itu.
Tetapi saya terheran-heran mengapa mbak Sina ini sangat hobi menelepon dan ditelepon berjam-jam, bahkan pada dini hari, sekitar 01.00—03.00 pagi? Selain mengganggu orang lain yang sedang tidur, dia jadi kurang tidur dan mengantuk tiap pagi. Mbak Sina kepergok tiga kali menggendong Little Big Rei sambil tidur tanpa gendongan! *ngeri, ngelus dada*.  Tentu saja saya mengekspresikan kekesalan saya dan melarangnya menggendong Rei sampai sekitar seminggu. Akhirnya mbak Sina tidak pernah lagi menelepon di tengah malam dan memakai kain batik kalau menggondeng Rei.

Beberapa kejadian miskom lucu (yang melatih kesabaran saya) juga terjadi, karena pendengaran mbak Sina yang agak terganggu. 

Saya (sambil melepas gendongan kain dari badan): mbak, ada susu berceceran di lantai, tolong di lap.
Mbak Sina mengambil gendongan tersebut dan mencucinya (mengira susunya belepotan di kain).

Saya: mbak, tolong ambilin gendongan.
Mbak Sina mengambil bedongan

Saya: mbak, nggak usah dibuatkan jus melonnya ya.
Mbak Sina ke dapur membuatkan jus melon.

Adik saya: mbak, tolong dong ambilin tang.
Mbak Sina nongol, tergopoh membawa tangga setinggi dua meter di tangannya!

Selebihnya mbak Sina adalah ART yang menetapkan standar tinggi bagi dirinya, yang membersihkan segala sesuatu dengan seksama dan telaten. Kalau tidak ada kerjaan (karena sebagian besar perawatan Rei masih ditangani saya), dia membersihkan bingkai-bingkai foto yang berdebu, langit-langit rumah bersarang laba-laba dan pantat blender cup yang menghitam. Padahal , dia tidak disuruh untuk melakukan  itu semua, dan juga sedang tidak penting-penting amat. Terimakasih ya mbak! 

Rookie mom dan Sina klop!

Kamis, 08 Maret 2012

Baju Menyusui Lamoms-Duo Tone

Little Big Rei tidak cocok dengan nursing apron. Dia meraung kepanasan kalau netek di balik kain itu. Jadi, saya harus beli beberapa baju menyusui untuk dipakai di luar rumah. Beda baju menyusui dengan baju lain adalah lubang misteri yang ngumpet di balik lapisan kain luar. Kalau menyusui dengan baju seperti ini, orang-orang sekitar tidak terlalu ngeh kalau ibu sedang menyusui, karena si lubang kecil tertutup oleh kepala bayi. Jadi untuk privasi, saya tidak perlu mencari-cari pojokan yang sepi, apalagi mencari ruang menyusui yang ya ampuuun langkanyaaa.

Dari dulu saya tidak suka baju formal, sukanya kaos santai yang menyerap keringat. Juga saya tidak suka baju yang mahal. Hehehe. Lalu saya ketemu Galeri Lanungga yang menjual baju menyusui merk Lamoms. Ada manset dan kaos berbahan katun spandex seperti yang saya suka. Harga baju-baju di sini standard lah, tidak kemahalan. Salah satu yang saya beli adalah kaos menyusui duo tone cokelat susu. Harganya kalau tidak salah Rp.125.000.-. 

Saya dan Little Big Rei di Taksi

Saya beli ukuran M yang pas di badan *syukur, masih bisa pakai M*. Sayangnya, bukaannya kurang bisa ditarik ke bawah, apalagi karena ujung PD saya menjuntai ke bawah *bingung menjelaskannya*.  Mungkin karena bahannya katun combed yang tidak melar. Tetapi bahannya enak kok dipakai.


My Mom, The Great Warrior


A mom who
does not only dance with breastcancer
but fights for winning her whole life
for the lives of her children
and the family glory.

A mom who…
was left by her father since very baby
survived by trading chili, potato and fruits
in a painful-tearful childhood, which
she could deal, but sometimes not.

A mom who …
is ambitious, hardworking, yet modest
a little hard to please, but unique
has her pride with full of dignity
teaches not to beg, but to be independent.

A mom who…
deserves to be called a great warrior and hero,
for the dedication to others’ being
whom learn from her time to time about
the meaning of life survival.

It's my mom.

Mom and Little Big Rei

And all such heroic moms should be given a token of appreciation in this special
International Women's Day.

THANKS A LOT, MOM! ;-*



Senin, 05 Maret 2012

Mushrooms Lover

Yes, I'm a mushrooms lover. Semua jenis jemur saya suka, seperti: jamur kancing, kuping, shitake, enokitake, tiram. Edible mushrooms pokoknya, bukan yang beracun *belum siap mati*.

Untung Little Big Rei tidak alergi jamur. Kalau iya, huwaaaa, life becomes so boring.

Minggu kemarin, waktu berbelanja bajunya Rei di Cibubur Junction, kami mampir ke restoran favorit, Ta Wan. Mata tertumbuk pada menu enoki goreng.



Hmmm, kriuk-kriuk. Enak dan gurih. Tepungnya pas, tidak keasinan. 
Saya taburi enoki goreng ini ke atas bubur Ta Wan, yang ludes dengan cepat.
Enoki, I'm coming to eat you again.

Ayam Mentega

Di akhir minggu kemarin, ketika anggota keluarga lengkap di rumah orangtua *saya masih numpang euy*, saya cari-cari resep berbahan ayam *mentok ayam karena menghindari seafood*. Dapat deh resep ayam mentega di sini. Saya minta tolong ART membuatnya persis seperti resep. Hebat juga ART kami, berhasil membuat ayam mentega yang rasanya seperti menu di restoran. Apa resepnya juga yang hebat ya?


Ayam Menteega

Sepatu Rombeng

Gara-gara pakai sepatu rombeng ini …


Dekil, kena becek. Pinggiran sepatu mengelupas. Kebetulan ukuran yang pas untuk jogging cuma ini. Ini juga pinjam :-D

dan celana legging yang sedikit robek di dengkul dan juga karena ngga dandan *ala saya lah*, maka ketika mengantarkan Reva bersekolah, setelah ber-jogging, ada seorang ibu yang sepertinya menyangka saya asisten rumah tangga yang sedang mengasuh anak orang. Ibu ini bertanya pada Vera, kakak saya (yang penampilannya kelihatan lebih ‘sah’ sebagai emak): “Ih, cakep amat tuh anak, anaknya siapa?”. 

Saya sedang menggendong Little Big Rei di samping kakak saya, tetapi mengapa ibu itu tidak bertanya kepada saya? Lantas Vera membalas: “Itu keponakan saya, anak adik saya. Lah, ini emaknya.”, sambil menunjuk ke saya.

Ibu itu melongo melihat saya. 

Saya diam, mengeloyor pergi. Nasib jadi orang jelek yang punya anak cakep.

Saya lirik sepatu di kaki saya. Ah, tapi mungkin bukan karena sepatu rombeng ini saja, tetapi keseluruhan penampilan saya.

Akhirnya saya merasakan pahit yang ibu saya rasakan. Dulu ibu saya dekil dan kurus kering, sering bepergian menggendong Danny, adik saya. Danny berkulit putih bersih dan mancung. Katanya dulu dia kayak ‘bule’. Adik saya ini ‘fotokopi’ ompung doli (babenya babe saya) yang memang ganteng. Banyak orang tidak percaya Danny itu anak ibu saya. Bahkan ada seorang bapak yang ‘mengintil’ ibu saya sampai ke rumah sakit ketika menemani Danny vaksin, saking curiga ibu saya membawa lari anak orang. Ada pula jemaat gereja yang mencurigai ibu saya selingkuh, sampai melahirkan anak yang berbeda penampilannya *babe juga berkulit gelap dan gak ganteng-ganteng banget. Hihihi, sori be*. Akhirnya, waktu ompung doli sedang berlibur ke Jakarta, ibu saya membawa mertuanya ke gereja untuk ditunjukkan ke jemaat: “Ini lhoo, anak saya mirip kakeknya.”

Ah, tetapi banyak juga kok orangtua yang beruntung seperti saya. Jelek dan dekil, tetapi punya bayi yang cantik dan ganteng. Orangtua seperti itu malah lebih sering mengucapkan syukur, daripada yang dari sananya sudah cakep dan punya bayi yang cakep pula. Di situ jugalah seninya membuat anak. Selama hamil, tidak akan tertebak penampilan si bayi nanti seperti apa atau akan mirip siapa.

Eh, tetapi jelek dan cakep kan hanya interpretasi manusia. Dan bila manusia melihat sisi luar, karena memang hanya Tuhanlah yang melihat hati ;-D


Jumat, 02 Maret 2012

Sesuatu Banget Yang Tak Bisa Kumakan (Part 3)

... adalah ikan gabus asin, makanan kesukaan saya sejak kecil. Ikan asin ini penambah nafsu makan keluarga yang rata-rata anggotanya berpenampakan kurus kering *kecuali saya yang habis melahirkan*.


Bisa saja lagi nih adik angkat saya, Sri Rejeki, menemukan ikan gabus asin sebesar ini di Pasar Kranggan Cibubur. Harganya cuma Rp. 60.000,-. Biasanya di tukang sayur perumahan, ikan gabus kecil banget dihargai Rp.15.000.-. 



Ikan gabus atau the snakehead adalah ikan air tawar. Tetapi ikan gabus asin dibuat dengan air garam laut. Mungkin garam lautnya yang menyebabkan Rei alergi, setelah saya memakan ikan gabus asin dan menyusui Rei tempo hari. Jadi, saya tidak berani memakan ikan gabus besar yang super tempting ini. Uhuk.



Ketika Susuku Tengik, ...


… saya omeli orang-orang serumah yang sering membuka-tutup kulkas sehingga menyebabkan ASI perahan (ASIP) saya basi. Semua ASIP saya berbau tengik dan sabun, sehingga anak saya, Little Big Rei (5 bulan) menolaknya habis-habisan. Semua prosedur penyimpanan ASI rasanya sudah saya lakukan, seperti mencuci tangan dulu, menggunakan botol gelas yang disterilkan dan menyimpan ASIP di bagian dalam kulkas (tidak di pintu). Karena itu, ‘kambing hitam’ tertuju pada temperatur kulkas yang naik turun akibat dibuka-tutup.

Sedihnya luar biasa waktu saya harus mencairkan dan membuang sendiri ASIP sebanyak 25 botol, rata-rata berisi 70-100 ml. Padahal tiap tetesannya sangat berharga. Sebagian besar saya peras dengan tangan, dilakukan dengan penuh tenaga dan cinta, diperas di saat saya sangat kelelahan dan membutuhkan tidur. 

Setelah kejadian membuang ASIP, saya agak lelah mental dan patah arang, sehingga libur dulu memerah ASI sampai sekitar dua bulan. Karena saya pekerja paruh waktu, saya bisa memutuskan kapan saya bekerja lagi. Saya menyusui Rei tanpa dilengkapi cadangan susu. Rei ikut kemanapun saya pergi. Dan saya anggurkan botol-botol ini.  

Botol ASIP yang dianggurkan
(botol gelas bekas You C 1000 dan Brands Essence of Chicken)

Masih merasa bahwa berbagi kulkas adalah masalahnya, saya berencana untuk membeli kulkas dua pintu yang baru dahulu, baru mulai memeras ASI lagi. Sebelum membeli kulkas baru, sepertinya Tuhan memberi kewarasan kepada saya, sehingga tergerak untuk mencari tahu tentang persoalan ASI tengik. Hasil surfing di internet membuat saya singgah di La Leche League International dan Kelly Mom.

Saya baru tahu bahwa ASI yang berbau tengik itu ternyata tidak basi dan juga bukan disebabkan oleh kulkas yang dibuka-tutup. Bila seluruh prosedur penyimpanan ASIP sudah diikuti, tetapi ASIP masih berbau tidak sedap, maka kemungkinan besar ASIP mengandung terlalu banyak enzim lipase. Enzim ini berfungsi memecah lemak sehingga mudah didistribusikan dan dicerna oleh tubuh bayi. Lipase juga membantu menonaktifkan protozoa sehingga menghindari bayi dari infeksi. Lipase yang aktif memecahkan lemak memunculkan bau yang tidak enak, seperti bau tengik, muntahan atau sabun. Tetapi ASIP yang berbau ini tidak mengurangi kandungan nutrisinya. Tidak masalah bila bayi tetap suka dengan ASI berbau ini. Tetapi jadi masalah buat saya, karena Reistar menolaknya.

Untunglah bau ini bisa dicegah dengan cara scalding atau memanaskan ASI yang baru diperah sebelum masuk ke dalam freezer. Scalding ini membantu menonaktifkan enzim lipase dalam memecahkan lemak. Tetapi memanaskan ASIP yang sudah berbau tidak akan menghilangkan baunya. Jadi ASIP berbau yang ditolak bayi tidak bisa diapa-apakan lagi selain dibuang *hiks..hiks*.

Ada beberapa pilihan memanaskan ASIP, tetapi saya pilih ala sederhana saja. ASI yang baru diperah dimasukkan ke dalam botol penyimpan berbahan gelas. Volume susu disesuaikan dengan kemampuan bayi meminum. Sekarang saya hanya menakar 50-70 ml per botol, tidak sampai 100 ml, supaya bila Rei sudah kenyang, tidak banyak susu yang terbuang.

ASIP ditaruh di dalam botol berbahan gelas.
Lalu botolnya direndam dalam gelas yang diisi air panas, yang saya ambil dari dispenser. Suhunya sekitar 80 derajat Celcius. Saya tunggu sampai 10-15 menit, lalu saya angkat dan dinginkan. Setelah itu, botol ASIP bisa langsung ditaruh di freezer

Botol yang berisi ASIP direndam air panas

Hasilnya memuaskan. ASIP beku yang dicairkan tidak bau tengik lagi dan Rei sudah mau meminumnya lewat sippy cup. Yeay!

Rei dan sippy cup 'Momma Technology'

Sayangnya, proses pemanasan susu dapat menghancurkan zat-zat anti infeksi dan mengurangi kadar nutrisi. Tetapi ASIP segar yang dipanaskan  masih lebih sehat dari susu formula. Juga tidak menjadi masalah bila bayi tidak selamanya mendapatkan ASI yang dipanaskan. Rei masih banyak mendapatkan ASI segar dengan menyusu langsung dari payudara saya. Dia minum ASIP bila saya harus meninggalkannya di rumah.
 
Ternyata banyak ibu menyusui yang ASInya mengandung banyak enzim lipase dan menghadapi penolakan ASIP oleh bayinya. Sayangnya, masalah ini tidak banyak dibahas dalam literatur manajemen laktasi asal Indonesia. Literatur yang sering dirujuk untuk masalah ini adalah buku Breastfeeding: A Guide for the Medical Profession oleh Ruth Lawrence, MD. Sangat mungkin banyak ibu menyusui (apalagi yang di kampung dan belum bisa akses internet) tidak bisa memperoleh informasi semacam ini. Semoga ibu menyusui yang senasib seperti saya, di mana saja berada, akhirnya bisa bertemu dengan informasi yang mereka butuhkan, in a way.