Kamis, 22 Maret 2012

Berbahagia Perempuan Batak Lajang!

Di suatu malam yang suntuk, setelah membobokan Little Big Rei, saya chatting dengan teman saya dan dia bercerita tentang temannya, seorang perempuan Batak lajang, yang dilangkahi adiknya menikah. Ompungnya bilang bahwa nilai jual dirinya sudah rendah karena dilangkahi. Dia menghayati ucapan ompungnya itu dan jatuh sakit. Panas tinggi, seperti Typhus atau DB.

Saya prihatin. Mengapa hal seperti itu bisa terjadi?

Pikiran saya melayang ke saat di mana saya masih lajang. Ibu saya pernah mengeluh: “Kamu memang sukses berkarir, bisa pergi kemana-mana. Pendidikanmu tinggi. Tapi satu kekuranganmu, belum menikah.” Saya membatin: “I’m comfortable at this, mom.” *maaf ibuku sayang, aku cerita di sini huehehe*.  

Kala itu saya berusia 33 tahun, sudah acuh tak acuh dan bosan  menjawab pertanyaan: “Kapan menikah?”, “Kapan menyusul?”. Yang bertanya malah kebanyakan saudara yang bukan dari keluarga inti. Saking bosannya, saya anggap pertanyaan seperti itu abusif karena menciptakan tekanan psikologis. Apalagi karena pertanyaan itu snowballing dengan prejudices, misalnya “Jangan terlalu sombong lah”, “Jangan lihat tampangnya doang, yang penting hatinya” atau “Mengapa pilih-pilih?”. Nah, pada prejudice yang terakhir, saya benar-benar bingung mengapa jenis pertanyaan itu perlu dilontarkan? Selain karena memang tidak ada pilihan *nggak lagi pedekatean*, juga karena bingung kenapa tidak boleh pilih pasangan hidup yang katanya harus sehidup semati, sementara untuk beli bakwan jagung saja saya pilih-pilih *yang kriuk-kriuk*?  

Terkadang orang memandang kasihan terhadap perempuan lajang berusia di atas 30 tahun. Menganggap mereka tidak normal. Tidak laku. Tidak bahagia. Pesakitan. Dan ditakut-takuti pula tentang rendahnya nilai diri mereka bila tidak menikah.

Mengenang bagaimana saya melewati tahapan ini, saya merasa beruntung menjadi orang yang acuh tak acuh. I made a simple deal. Supaya tidak ditanya-tanya kapan menikah, saya tidak datang ke acara pernikahan dan arisan batak dan punya seribu alasan untuk menghindar. Untungnya dulu jam travel saya cukup tinggi, jadi tinggal bilang saja saya akan berpergian di jadwal itu. Dan karena saya masih nge-kos, tidak ada keluarga yang tahu apakah saya bohong atau tidak. Hueheheh. 

Nah, kembali ke teman chatting saya ini. Ternyata dia melakukan hal yang sama! Dia lajang  dan menghindari acara pernikahan batak, meski yang melangsungkan pernikahan adalah sepupunya. Dia juga sering ‘mati jawaban’ kalau ditanya kapan menikah. 

Sebenarnya apa yang membuat risau perempuan lajang batak? Dalam adat batak, ada Dalihan Na Tolu (DNT) yaitu konsep tungku berkaki tiga, yang menggambarkan tiga kedudukan fungsional yang berlaku dalam masyarakat Batak. Ketiga kaki tungku terdiri dari pertama, Somba Marhula-hula atau sembah/hormat kepada keluarga pihak istri, kedua, Elek Marboru atau sikap membujuk/mengayomi perempuan/istri dan ketiga, Manat Mardongan Tubu atau sikap hati-hati kepada teman semarga.

Nah, pertanyaannya, di manakah posisi perempuan yang belum menikah? Jawabannya tidak ada. Ya, perempuan lajang Batak tidak punya tempat dan relasi di adat Batak. Karena itu, perempuan yang belum menikah dianggap aneh dan kurang komplit. Perempuan harus menikah dulu agar memiliki status dan posisi. Banyak perempuan lajang Batak tertekan akan tuntutan menikah dan akhirnya menikah juga karena terdesak. 

Di sisi lain, laki-laki lajang yang sudah tua dan belum menikah sebenarnya juga dianggap aneh, tapi masih punya kedudukan, misalnya masih boleh menemani ibunya (yang janda) untuk mangulosi (memberi ulos atau berkat) dan mempunyai hak ‘tulang’ (saudara laki-laki dari ibu) dan boleh mangulosi keponakannya. Little Big Rei diulosi oleh Danny, adik laki-laki saya yang belum menikah. Sedangkan perempuan lajang dalam adat batak ?  Mojok di ruangan, bekerja di dapur, melayani orang-orang, bermain dengan gadget, dan kalau sudah kelelahan, geram membayangkan kapan acara ini selesai dan kapan semua orang pulang.

Ketika saya menikah pada usia 35 tahun, akhirnya pecah juga 'bisul' orangtua saya. Mereka menangis terharu dan bergembira ria. Saya terharu juga sih. Tetapi semua terasa pas waktunya. Saya tidak pernah merasa terlambat menikah *memang siapa sih yang punya kekuasaan menetapkan deadline menikah?* Saya juga tidak merasa perlu menyatakan ungkapan klasik: “ternyata enak menikah, kenapa nggak dari dulu?”. Buat saya, ‘semua indah pada waktunya’ adalah nasehat sejati.

Saya juga percaya bahwa ada pilihan lain selain menikah, yaitu tidak menikah atau menunda menikah. Perempuan berhak memilih-memutuskan dan orang lain seharusnya menghargai pilihan ini. Pun kebahagiaan sejatinya berupa self-sufficiency atau self-content, bukan bergantung pada orang lain (mis: pendamping hidup). Banyak perempuan lajang merasa nyaman dan berbahagia dengan situasinya. Mereka bahkan berkontribusi dan berdedikasi secara maksimum bagi keluarga dan masyarakat. Nilai mereka justru perlu ditinggikan.  

Juga dapat dibuktikan kok bahwa pernikahan bukanlah life milestone yang paling membahagiakan. Banyak pasangan memiliki pernikahan hambar dan terpaksa bertahan demi anak. Banyak yang sudah menikah merindukan saat-saat lajangnya dan ingin lajang kembali. 

Jadi, untuk teman-teman saya, perempuan batak lajang, selamat berbahagia ya!

4 komentar:

  1. suka say...thanks for sharing...perempuan, menikah or lajang...harus bahagia!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks a lot Qori. Bener banget deh, mo nikah, mo lajang sama2 pilihan yg hrs membahagiakan! take care yoo

      Hapus
  2. Sejuta persen setuju The!. Menikah dan melajang sama enaknya, sama ribetnya. So, kembali ke pilihan masing-masing itu. Jadi ingat temen gue yang tertekan dengan pernikahannya. Dan waktu ditanya kenapa menikah, jawabnya: cape ditanya2 mulu, akhirnya menikah dengan siapa saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hoooy poyy. kesian temen lu poy. apa rasanya menikah dgn siapa saja? ngeri ngebayanginnya.

      Hapus