Dari hasil internet browsing
sampai hampir ketiduran di depan laptop, dan hasil diskusi panjang dengan Addies, akhirnya kami memutuskan agar Little Big Rei menjalani
MPASI dengan metode Baby Led Weaning (BLW). Lalu, saya
membeli buku BLW yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia,
langsung dari sang alih bahasa, yaitu mbak Adhya Utami Larasati. Bukunya bisa
dibeli di page ini.
Metode BLW adalah penyapihan bayi, berupa pemberian makanan
padat, yang dipimpin atau dikendalikan oleh bayi (baby-led). Ini sebuah metode
yang berbeda dari MPASI konvensional, yaitu pemberian makanan padat seperti
bubur atau puree dengan cara
menyendoki bayi (spoon-feeding). BLW
mempercayai bahwa bayi yang sudah mendapatkan ASIX atau sufor selama 6 (enam) bulan tanpa tambahan lain
telah memiliki sistem pencernaan yang baik dan bisa meloncati tahapan makan
bubur dan puree, tahapan yang dilalui
pada jaman dulu, ketika ASIX hanya diberikan dalam 3—4 bulan.
Dengan metode BLW, bayi diberikan kesempatan untuk makan makanannya sendiri. Keuntungan metode ini banyak sekali:
Dengan metode BLW, bayi diberikan kesempatan untuk makan makanannya sendiri. Keuntungan metode ini banyak sekali:
- Bayi menjadi aktor yang aktif, bukan pasif (hanya menerima disendoki). Sejak awal penyapihan, bayi sudah diberi kesempatan untuk makan sendiri. Bayi memutuskan kapan makan, kapan kenyang dan kapan mengakhiri kegiatan makan.
- Bayi belajar ketepatan motorik, dengan meraih, menggenggam dan memasukkan sendiri potongan makanan padat ke mulutnya. Bayi juga melatih otot rahang dengan mengunyah, meski tanpa gigi.
- Bayi menjadi penikmat makanan. Dia mengenal dan mengeksplorasi tekstur, rasa dan warna makanan. Sedangkan bila makan bubur atau puree, yang rata-rata bertekstur sama, bayi tidak mengenal bentuk dan tekstur makanan yang aslinya.
- Mengurangi resiko bayi menjadi picky eater (pemilih makanan) dan GTM (Gerakan Tutup Mulut) yang sering ditemui dalam pemberian makan dengan menyendoki (spoon-feeding).
Metode BLW dikembangkan oleh Gill Rapley, tetapi diakuinya
bukan hal yang baru. Rapley mengungkap bahwa banyak ibu sebenarnya sudah
melakukannya. Karena harus mengerjakan pekerjaan domestik lainnya, para ibu tanpa sengaja meninggalkan anak kedua dan ketiga di
kursi makan dengan makanan di atas tray. Ternyata selama ditinggal, bayi-bayi ini terampil memakan makanan sendiri. Setelah cara ini dilanjutkan, diketahui bahwa bayi-bayi ini jarang menolak
makanan dan makan lebih cepat dari anak sulung yang disendoki. Namun para ibu
tidak berani mengungkap cara ini kepada orang lain karena
takut dituduh menyalahi kebiasaan atau aturan.
Di sisi lain, beberapa orangtua menolak menerapkan BLW ini
karena takut bayinya tersedak. Tetapi Rapley meyakini bahwa bayi belum memiliki
kemampuan memasukkan makanan hingga ke pangkal lidah bagian dalam. Bayi
tersedak malahan lebih sering ditemui dalam metode spoon-feeding, karena sendok makanan sering dimasukkan ke mulut
bayi terlalu dalam. Dalam BLW, syarat utama adalah bayi harus didudukkan secara
tegak, bukan bersandar. Pengasuh juga dilarang untuk memasukkan makanan ke
mulut bayi. Bayilah yang harus melakukannya. Seterusnya, dia akan lebih sering
melepeh, daripada tersedak.
Ketika pertama kali membaca literatur tentang BLW ini, jantung saya
berdesir, excited! Inilah yang saya
butuhkan.
Pertama, karena saya parno
melihat bayi-bayi di komplek rumah orangtua saya yang disendoki bubur
sambil digendong berjam-jam atau berjalan-jalan di taman. Para ART mengeluh
tentang lamanya waktu memberi makan, sambil menunjukkan tanda kemerahan di
pundaknya akibat tekanan gendongan dan berat bayi. Padahal bayi-bayi itu sudah
memiliki gigi dan bisa berjalan. Mengapa tidak diberi kesempatan makan sendiri
sih?
Kedua, saya parno melihat
Reva, keponakan saya, yang sangat pilih-pilih makanan, susah makan sayur dan
buah. Juga perlu waktu lama menyuapinya.
Ketiga, saya ingin merasakan keseruan ini dan ingin Rei
memimpin penyapihannya sendiri, seperti Rei memimpin saya dalam
menyediakan ASI. Saya sudah mendapatkan ‘feeling’ kalau dia siap untuk
mengikuti BLW ini, karena dia sudah terampil menyedot, menghisap dan mengecap. Tangannya juga sudah dapat meraih barang
secara tepat.
Keempat, BLW ini tidak membutuhkan alat-alat penghalus
makanan seperti dalam metode spoon
feeding. Bayi dapat memakan makanan orang dewasa, asalkan berukuran
sekepalan tangannya dan tentunya tidak bergula garam. BLW nyaris tidak
membutuhkan alat bantu spesial kecuali kursi makan bayi. Kursi inipun pada
bulan-bulan awal kurang diperlukan, karena
bayi bisa dipangku. Selain ekonomis, metode ini menghemat waktu dan
mengurangi beban pengasuh. Cocok sekali untuk saya, si momma cuek :p
Psst...psst, sebelum memulai BLW ini, saya menguji
kesiapan Rei (fisik) dan saya (mental) untuk menjalani metode ini. Kebetulan minggu lalu, ART menghidangkan lalapan kesukaan keluarga: wortel, buncis dan labu, tanpa gulgar.
Lalapan keluarga |
Saya memangku Rei di depan meja makan. Rei menarik-narik piring lalapan, memegang-megang buncis, tetapi belum bisa mengambilnya (mungkin karena bertumpuk?). Saya coba sodorkan satu batang. Dia meraih buncis dengan tepat dan mencoba memasukkan ke mulut.
Beberapa kali dia berhasil, tetapi ada kalanya kesulitan memasukkan buncis ke
mulut. Dia mengunyah dan menghisap sari-sarinya sampai buncis gepeng. Ternyata betul, bayi yang tidak punya gigi bisa mengunyah dengan gusi, lidah dan ludah. Jika buncis jatuh atau patah
dan terlepas dari tangannya, dia memekik kesal dan menangis-nangis.
Ketika
diberikan batang buncis yang baru, dia senang dan langsung asyik
mengeksplorasi.
Selanjutnya, saya menyodorkan wortel. Dia juga menyedotnya, tetapi kelihatannya agak mengalami kesulitan dibanding buncis yang berair lebih banyak. Tetapi ini asyiknya. Dia merasakan tekstur makanan yang berbeda-beda.
Selanjutnya, saya menyodorkan wortel. Dia juga menyedotnya, tetapi kelihatannya agak mengalami kesulitan dibanding buncis yang berair lebih banyak. Tetapi ini asyiknya. Dia merasakan tekstur makanan yang berbeda-beda.
Rei dan eksplorasi wortel |
Coming soon, nak. Sabar yaa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar