Rabu, 29 Februari 2012

Sesuatu Banget Yang Tak Bisa Kumakan (Part 2)

... adalah kerupuk ikan khas Samarinda, yang sering disebut Amplang atau Kemplang.
Kerupuk ini oleh-oleh dari kakak saya, Vera (emaknya Reva), yang bekerja di Balikpapan dan sedang mendapatkan libur di Jakarta *welcome home, sis!.


Amplang, oleh-oleh khas Samarinda

Amplang terbuat dari ikan pipih atau belida atau lopis (Notopetrus Chitala). Dulu ikan lopis ini dipakai untuk membuat pempek, tetapi karena kelangkaannya sekarang dialihkan ke ikan tenggiri. Lopis berpunggung seperti pisau dan karena keunikannya sering dipelihara di akuarium.

Sebenarnya ikan ini hidup di sungai, jadi merupakan ikan laut tawar. Karena bukan makanan laut, saya pikir aman nih untuk disantap. Tapi setelah saya makan tiga butir *sambil gemetar antara nafsu dan takut* dan menyusui Rei, pada malam hari, kok ada ruam dan bintik merah khas alergi di selangkangan dan wajahnya Rei? *sssst..janganbilangsuamisaya*. Rasanya tidak ada pemicu alergi lainnya hari itu selain amplang. Pupuslah harapan makan kriuk-kriuk. Padahal amplang ini rasanya enak dan gurih, tidak seperti kerupuk ikan biasa, yang kadang masih bau amis.

Oh, mengapa banyak cobaan di minggu ini? *usapmuka*.  Hmm, harus ada penggantinya nih. Terbersitlah ide *ting!* untuk minta bantuan ART mencari kerupuk bawang mentah dan menggorengnya. Lumayan, jadi tidak ileran waktu melihat seisi rumah makan amplang.


Kerupuk bawang. Ini juga tak kalah enak.

Catatan: Pagi-pagi, waktu Addies (poppanya Rei) ganti celananya Rei, dia tanya ke saya: "kok Rei merah-merah lagi sayang?". Saya bungkam seribu bahasa, lalu ngacir ke luar kamar.

Gopek-anku Banyak!


Reva (4 tahun), keponakan saya, tidak pernah diberikan uang jajan dan tidak juga memintanya. Dia belum mengerti bahwa anak-anak biasanya diberikan uang jajan. Tetapi Reva sudah mulai mengenal uang. Dia sering melihat orang dewasa harus memberikan uang (atau gesek kartu) ketika membeli sesuatu. 

Suatu kali adik saya (Uda Opa) memberikannya celengan yang terbuat dari batok kelapa, oleh-oleh dari Yogyakarta. Lalu kami menjelaskan sedikit tentang manfaat menabung: “Kalau celengannya sudah penuh, Reva bisa membeli barang yang kamu suka”. Mulailah dia tiap hari meminta ‘gopekan’ untuk ‘diceleng’ kepada siapa saja yang bisa diminta.  

Uniknya, meski ada gopek tergeletak di meja, dia tidak langsung mengambilnya, tetapi bertanya dengan sopan: “minta ya mama, untuk diceleng”. (ket: Reva panggil saya mama, dan panggil ibu kandungnya mami).  Saya iyakan dan kadang memberikan koin lain seadanya dari dompet. Namun ketika melihat ada mangkuk kecil di mobil yang berisi banyak gopekan, dia sedikit kalap, merauk dan memindahkannya ke celengannya.  Ompung doli (kakeknya) ngotot: “itu kan punya ompung!”. Tapi Reva juga ngotot: “itu punyaku!”.

Pada hari Natal yang lalu, Reva mendapatkan cukup banyak ‘angpau’ dari saudara yang datang ke rumah ompungnya. Semuanya tidak dibelikan jajanan, tetapi masuk celengan. Entah bagaimana akhirnya dia tahu bahwa uang kertas ternyata bernilai lebih banyak dari koin. Dia mulai enggan menerima koin dan meminta yang kertas. Dia bilang: “Aku mau uang mami, bukan gopek.” Buat dirinya, gopek itu bukan uang. 

Demikianlah, koin dan uang kertas lambat laun memenuhi celengan Reva, hingga pada suatu hari celengannya sudah padat dan tidak bisa dimasukkan uang lagi. Uda Opa mengajaknya memecah celengan, yang menjadi suatu momentum besar dalam sejarah hidupnya. Dia belajar menghitung uang dan membeli baju renang dambaan dengan hasil tabungan sendiri.

Money laundry. Uangnya dicuci dulu biar bersih.

Horeee, gopek-an ku banyak. Yang kertas banyak juga!

Duaribu, tujuh ribu, ...  seratus ribu ...

Totalnya 146.500.-
Awas ya mami, jangan ambil uangku!

Amankan saja di tas.

Wah, sampai ngga muat. Banyak juga nih! Yuk, belanja.

Yeay! baju renang Reva hasil belanja dari tabungan sendiri
Uda Opa-nya bercerita, waktu membayar baju renang di kasir dengan koin-koin gopekan, Reva bilang: "Jangan dikasih semua dong uangnya uda, uangku nanti habis!". Reva lemas. Gopek-annya tinggal sedikit.

Oke nak, sebentar lagi ada celengan baru kok!




Senin, 27 Februari 2012

Sesuatu Banget Yang Tak Bisa Kumakan

... adalah ikan teri besar ini. Dibeli dari tukang ikan yang setia lewat di komplek rumah tiap hari. Yang ini berukuran besar dan jarang ada. Jadi siapa bilang ikan teri selalu cilik?

Bandingkan dengan ukuran koin Rp.500.-
Ikan ini digoreng garing oleh adik saya dengan cara yang sederhana sekali.
Bahannya hanya bawang putih dan tepung beras. Caranya:

1) Cuci ikan teri besar dan taburi bawang putih yang 'dikeprek'. Aduk sebentar.
2) Campur tepung beras dengan air secukupnya. Masukkan ikan teri ke dalam tepung beras cair.
3) Goreng hingga garing.


Kriuuk kriuuk *drooling*
Saya lagi pantang makan seafood ini karena Little Big Rei, anak saya yang alergi, masih bergantung pada susu saya (ASIX). Jadi mari gigit jari dan lap iler.


Sabtu, 25 Februari 2012

Rei Libur Clodi Dulu

Setelah tragedi bandeng dan telur minggu lalu, ruam di selangkangan Rei betah. Dipakaikan krim Noroid dari dokter (DSA) malah bikin kulitnya kering dan merah-merah. Padahal kata DSA krimnya anti steroid, tidak memunculkan efek sampingan. Untuk tidak menambah ruam, saya memakaikan Rei celana pop saja di pagi dan siang hari (tanpa alas ompol dan fleece liner), tetapi masih berupaya memakaikan Rei clodi (popok kain) di malam hari *biarsemuabisaantengbobo*. Namun sepertinya kulit Rei semakin tidak bisa berkompromi. Kulit seputar selangkangannya makin merah, kering dan kasar. Rei meradang, tidak bisa tidur dan tangannya menggaruk-garuk kelaminnya, tanda kegatalan. Di situlah, saya menyaksikan betapa sensitifnya kulit anakku ini.

Akhirnya Addies memutuskan agar tidak memakaikan Rei clodi dulu, baik pagi maupun malam *apaaa? akukanyangcapekgantiincelananya?. Semua krim dan minyak distop. Kami juga tidak lanjut ke DSA lagi, takut diberikan krim-kram apalah yang menambah parah. Well, akhirnya saya sepakat. Rei hanya dipakaikan celana pop sepanjang hari dan malam.

Sebenarnya ada untungnya juga libur clodi sementara. Saya jadi tahu berapa pipis yang Rei produksi tiap hari. Kalau dihitung, saya ganti celana Rei rata-rata sebanyak 18 kali sehari *lapkeringet*. Belum ditambah pipis yang nyemprot dadakan ketika mandi atau ganti celana. Ini berarti Rei pipis tiga kali dari jumlah pipis standar yang dianjurkan dokter dan perawat (6 kali sehari). Rei memang sejak lahir heavywetter. Wah, ini juga berarti momma harus pergi belanja celana pop tambahan, sekitar 2 lusin *asik-asikshoppingtime*.

Setelah empat hari menjalankan metode urine handling ini, ternyata hasilnya memuaskan. Kulitnya tidak merah dan ruam lagi, seperti rejuvenating sendiri. Dibantu oleh rongga celana katun, kulitnya bernafas dan bagian keringnya mulai melembab. Rei juga senang sekali dipakaikan celana pop. Kakinya langsung diangkat-angkat, mau bilang kalau pantatnya lebih ringan tanpa clodi.



Yang tidak enak dari metode ini adalah celana katun yang terguyur pipis berasa basah di kulit, tidak berasa kering seperti popok kain. Jadi tiap kali pipis, Rei tidak nyaman, lalu merengek atau menangis. Saya dan Addies bergantian bangun keliyengan mengganti celananya. Akhirnya kami bertiga kurang tidur di malam hari. Dan di pagi hari, enam buah mata bengkak-bengkak.

Nah, malam ini saya sedang coba pakaikan clodi lagi, supaya Rei nyenyak tidur. Sekarang dia lagi ngorok. Selamat bobo, nak! Tapi siap-siap, clodinya sebentar lagi harus diganti ya :-)


Resep Soto Ayam Bening ala Momma Cuek

Karena tidak boleh makan seafood dan telur selama menyusui (anak saya alergi), maka saya hanya bisa makan ayam, daging, tahu dan tempe. Rasanya jenuh banget dengan makanan yang diulang-ulang. Sedangkan tiap hari, mati ide kalau ditanya ART mau diapakan ayam hari ini. Untung bohlam kepala masih menyala. Kenapa tidak buat soto aja? Mudah memasak dan memakannya.

Maka saya rumuskan resep soto ayam bening dengan sedikit modifikasi dari resep yang didapat di sini. Bukan resep soto paling enak se-Indonesia tentunya, tetapi cukup menyenangkan untuk keluarga.

Bahan-bahan:
Ayam 1/2 ekor direbus dengan air secukupnya
Kentang rebus 2bh
Toge secukupnya
Bawang merah goreng secukupnya
Catatan: saya tidak pakai telur rebus (karena alergi) dan keripik kentang (karena memilih yang direbus saja).

Bumbu yang dihaluskan:
Bawang merah 6 siung
Bawang putih 4 siung
Kemiri 8 buah
Jahe, seruas jari
Kunyit, seruas jari
Lengkuas, seruas jari

Bahan lainnya:
Sereh 1 batang, memarkan
Garam, merica, gula sesuai selera
Jeruk nipis
Irisan daun bawang dan seledri

Cara memasak:
1. Ayam direbus. Angkat dari kaldu. Daging bagian dada disuwir-suwir. Tulang iganya dikembalikan ke dalam kaldu. Sayap dan ceker tidak disuwir, ditinggalkan di dalam kaldu.
2. Masukkan bumbu halus, sereh, lengkuas, garam, gula, merica ke dalam kaldu ayam sampai mendidih. Kuah soto siap digunakan.
3. Kentang direbus. Tauge disiram air panas sampai layu. Bersama dengan suwiran ayam ditata di mangkuk.



Penyajian:
Masukkan suwiran ayam, kentang rebus dan tauge di dalam mangkuk. Tuang kuah soto ke dalam mangkuk. Taburi bawang merah goreng, daun bawang, seledri. Tambahkan perasan jeruk nipis.




     Lebih enak ditambahkan sambal. Tapi saya belum coba resep sambal soto. Heheheh.

Jumat, 24 Februari 2012

Memilih TK di Cibubur untuk Reva


Tahun ini waktunya Revani Putri Raja (keponakan saya, 4 tahun) untuk masuk taman kanak-kanak (TK). Dia tidak mengikuti playgroup. Karena itu, rencana sekolah di tahun ini tidak bisa diganggu gugat. Saya dan adik mencarikan TK untuknya, dan berunding dengan ibu saya untuk memutuskan mana sekolah yang paling cocok.

Jauh-jauh hari, emaknya Reva yang bekerja di Balikpapan sudah pesan sekolah dengan paket hemat karena anggaran terbatas, jadi kalau bisa SPPnya antara 300-400ribuan dengan uang pangkal tidak lebih dari Rp.4 juta. Baiklah. Saya kemudian daftarkan dua syarat lagi selain anggaran yaitu prinsip ‘Studying is Playing, Tidak Baca Tulis’ dan tentunya ‘No Violence Against Children’.

TK yang  sudah disurvei yaitu  Happy Holy Kids, ABC Kids, Quantum, Gracia Laguna. Saya juga mendapatkan informasi tentang TK Permata Bunda dari teman, tetapi tidak mensurveinya. Semua TK tersebut berlokasi dekat dengan Komplek Taman Laguna, tempat tinggal Reva. Sebenarnya tergoda melihat Labschool dan BPK Penabur, tetapi lokasinya terlalu jauh dari rumah, jadi tidak jadi disurvei. 

Ternyata TK yang fasilitas fisiknya bagus seperti Quantum, ABC Kids, Permata Bunda dan Happy Holy Kids menarifkan SPP  per bulan antara Rp.500-700ribu dengan uang pangkal yang bisa mencapai Rp.7 juta. Ya Tuhan, belajar di TK aja kok mahalnya kayak kuliah Master saja!  Sekolah-sekolah ini bertempat di ruko, gedung dan komplek sekolah yang cukup luas. Fasilitas bermainnya sangat atraktif dan bermerk impor. Guru-gurunya cukup banyak, berseragam, terlatih dan kelihatan profesional. Tapi harganya semua lewat dari anggaran yang disepakati. Oke, bye!

Yang paling terjangkau akhirnya TK yang paling dekat yaitu Laguna Gracia dengan uang pangkal Rp. 3.5 juta dan SPP Rp. 300ribu/ bulan. Fasilitasnya tentu saja tidak sophisticated seperti sekolah lainnya. Adalah  TK sederhana, terletak di dalam rumah yang disulap menjadi sekolah usia dini. Ada alat bermain yang konvensional di halaman rumah. Hanya ada dua guru untuk tiga kelas (Playgroup, TK A dan TK B), tidak berseragam, kelihatan lebih rileks dan casual.

Oke, sekarang syarat kedua tentang Studying is Playing. Sudah dapat ditebak sebelumnya bahwa semua TK yang disurvei memiliki kurikulum untuk mempersiapkan anak masuk sekolah dasar (SD). Jadi anak-anak sudah diperkenalkan angka dan huruf. Sebenarnya sebatas ini oke. Tetapi ternyata Laguna Gracia mengajarkan menulis kalimat untuk anak  TK B. Gurunya menunjukkan hasil tulisan anak ajarnya dengan bangga. Dan tulisan anak TK B itu memang sudah rapih seperti tulisan orang dewasa! Guru itupun dengan bangga menjelaskan bahwa kurikulumnya berbeda dan sukses mempersiapkan anak masuk SD.

Yup, ini tidak sesuai dengan harapan saya yang ingin agar Reva diajar bermain saja, yang didalamnya terkandung pendidikan disiplin, sopan santun, menghargai orang lain, mandiri, dll. Anak seusia 4—5 tahun tidak seharusnya mengalami stres dini karena dituntut harus baca tulis. Mereka selayaknya bersenang-senang mendapatkan latihan kognitif dan motorik sesuai usianya.

Sebagian besar SD (di dalamnya guru-guru) di Indonesia ini sepertinya bersekongkol untuk hanya menerima murid baru yang sudah bisa baca tulis. Apakah guru-guru SD kita sudah sedemikian desperado sehingga inginnya mengajar 'starter kid'? Guru TK dan orangtua jadi ketakutan anaknya tidak bisa lulus masuk SD karena tidak bisa membaca dan menulis. TK-pun terpaksa mengikuti persengkongkolan ini dan memenuhi demand dari orang tua murid agar sekolahnya tetap diminati. Ini sudah menjadi sindikat persekolahan. Tetapi akhirnya saya mencoba memaklumi hal ini, meski menerima kebijakan yang tidak disukai seperti ini adalah salah satu kompromi yang menyebalkan. 

Anyway, pilihan tetap jatuh pada TK Laguna Gracia. Ujung-ujungnya adalah isu ‘kocek’. Anggarannya paling sesuai. Lokasinya juga dekat rumah, jadi tidak perlu tambahan biaya transportasi. Sedangkan syarat “no violence” akan dipantau selama Reva bersekolah dan via ‘kasak-kusuk’ dengan orangtua murid tentang pernah ada atau tidaknya kasus kekerasan di sekolah. 

Reva di depan TK Laguna Gracia

Oya, semua pilihan sekolah diperkenalkan kepada Reva untuk memberikan hak partisipasinya. Dia sebenarnya paling tertarik dengan Quantum, karena gedungnya yang ‘wah’ dan alat bermain yang besar dan megah yang dipajang di taman.  Namun, dia dijelaskan tentang kondisi sekolah dan keuangan maminya. Reva adalah anak yang sangat memaklumi hal-hal seperti ini.  Dia mudah mengerti dan akhirnya setuju bersekolah di Laguna Gracia. Oke Reva, selamat sekolah ya nak! Selamat bersenang-senang. Love you!

Kamis, 23 Februari 2012

Rusak Susu Se-empang

Merusak nama baik lebih gampang dari memeliharanya. Cukup berbuat sedikit kecurangan yang merugikan orang lain, maka 180 derajat citra seseorang akan beralih rusak. Karena satu titik, rusak susu sebelanga. Tapi karena hitungan kecurangannya milyaran, maka lebih tepat pepatahnya menjadi: “karena satu belanga, rusak susu se-empang”.

Gambar 'dicomot' dari pencarian di google
Begitulah nama Angie (Angelina Sondakh) yang direpresentasikan media sebagai tipikal “perfect woman’’, yang dulu disanjung dan dipuji karena keindahan, kecerdasan, kepedulian dan kebijaksanannya. Akibat indikasi korupsi, kini dia dikecam dan dicibir masyarakat.  Karakter baiknya luntur seketika. Jawabannya di pengadilan *tidak punya BB Yang Mulia, tidak pernah Yang Mulia, tidak tahu Yang Mulia* langsung jadi olok-olok media dan masyarakat. Beredarlah gambar Anggie, the Pinokio. Si hidung panjang.

Memang rakyat tetap perlu menjaga ‘praduga tak bersalah’, tapi dengan belajar berita, rasanya sulit bagi saya dan masyarakat umumnya untuk percaya bahwa Angie ‘bersih’. Negara yang patut dikasihani ini berisikan masyarakat dengan kejenuhan tingkat tinggi akan permainan hukum. Lagian, ini soal rakyat miskin yang mengalami kelangkaan akan hidup yang layak akibat milyaran rupiah dari haknya dikorupsi oleh pejabat rakus.  Maka sulit bagi Angie untuk memperoleh simpati. Ooh Angie, you disappoint.  

Senin, 20 Februari 2012

Sakau Letter for Rei and Poppa


Dear Little Big Rei dan poppa Addiestar Silaban, 

Momma cuma mau sharing. Momma lagi pengen udang rebus, cumi goreng tepung, ikan bawal bakar, kerang bumbu nanas, kepiting saos padang, teri medan goreng, kerupuk ikan palembang. Sudah tahu kan, itu semua makanan kesayangan momma? Momma sakau. Lidah dan tangan ini gemetaran, pengen nyobain sedikit aja sayang pa, nak! Momma menghayal lagi makan di warung seafood tenda yang sedap murmer depan Toyota Cibubur itu lho. Eeeh, ini momma akhirnya terbangun dari khayalan, ternyata momma teronggok di sini, di meja makan di rumah, di depan sup ceker ayam. Lagi! Tiga kali seminggu.

Salam sayang,
Momma 
(the nursing mom who tries hard to be tolerant to seafood intolerance.

The Fragile Rei: Handle with Care


Little Big Rei is a fragile baby. Ibarat kristal dalam suatu ekspedisi, dia harus mendapatkan penanganan yang super hati-hati. Kira-kira bahasa bataknya: “Handle with Care”. Rei masih mendapatkan ASI penuh dan sangat sensitif dengan makanan yang saya makan. Seperti pappanya, dia intoleransi terhadap makanan laut. Sementara saya? Saya terlalu suka dengan makanan laut. Terlalu suka. Itu makanan favorit saya sejak masih muda *berasatua*. Selain itu, tahu lah saya, bukan momma yang super duper hati-hati.

Di bulan-bulan pertama menyusui Rei, saya masih cuek. Saya pikir: “masak sih Rei alergi semua item seafood?”. Jadi saya masih  “bodor” makan ini itu, sampai saya melihat bagaimana riilnya Rei ketika alergi. Pantat, kelamin dan selangkangannya berbintik merah alias ruam. Matanya bengkak. Wajahnya lebam dengan bentol-bentol. Rei mengejan, tidak nyaman, seperti kena gatal yang ditahan karena tidak bisa menggaruk. Dia tidak bisa ngomong ke momma-poppa kalau sedang kegatalan, akhirnya hanya bisa merintih, menangis, meratap. 

Sempat pula Rei dituduh rewel oleh kedua ortunya, padahal dia sedang alergi dan kolik (reaksi di perut akibat makanan yang tidak dapat ditoleransi), hasil dari kesalahan orangtuanya. Yang paling parah dia tidak bisa tidur siang dan malam. Oh oh, ini benar-benar tidak bagus untuk pertumbuhan otak dan fisiknya. Akhirnya saya mulai berhati-hati makan dan kini sering diliputi rasa bersalah tiap kali salah makan, dan mengomeli diri sendiri: “Mom, kenapa gak pikir dulu itu komposisinya apa?”. 

Selain intoleransi makanan, kulit Rei juga sensitif terhadap debu, suhu ruangan yang panas, popok yang terlalu lama dipakai, bahan katun hemp, bahan pabrik yang belum dicuci, dan lainnya yang harus saya deteksi lebih lanjut. Untung ada asisten yang bisa membantu saya membersihkan kamar dan rumah dari debu. Kalau malam hari bersuhu panas, Rei harus pakai AC agar tidak gatal kena keringatnya dan bisa tidur lelap *reibakatkayaeuy. 

Tadinya Rei full dipakaikan popok kain modern (cloth diaper/clodi), tapi kini di siang hari saya pakaikan celana pop saja, yang dilapisi alas ompol dan fleece liner. Kalaupun pakai clodi, pemakaiannya maksimal dua jam, tidak bisa 4-8 jam seperti bayi lain. Khusus pada malam hari, saya paksa pakaikan fitted clodi yg outer-nya fleece selama 4-6 jam, dengan menggunakan krim ruam dan fleece liner.  Semua barang berupa kain yang baru dibeli harus dicuci bersih, sampai tidak ada zat kimianya. Kain batik yang biasanya pakai banyak zat perwarna, termasuk salah satu pemicu alergi.

Ya begitulah, punya anak yang sangat sensitif, momma cuek tidak bisa lagi ‘main hajar makanan’, harus rajin mengawasi dan menghindari ‘ancaman’ pemicu alergi, yang kadang terlalu detil. Jangan ditanya apakah saya lelah atau tidak. Ah, tapi saya toh ingin curhat meski tidak ditanya heheh. Ya dong, saya lelah, namanya juga manusia. Saya bahkan frustasi dan sering cemas. Perasaan ini seperti rocket yang meluncur naik turun. Sebentar lega karena ruam dan gatal Rei hilang, eeh tidak sampai besok, kesal dan cemas karena ada ruam lain yang muncul lagi. Kadang pusing tujuh keliling dan patah arang karena sudah gonta ganti krim dan minyak pereda gatal, tapi si bintik binti bentol merah masih betah saja di kulit Rei.

Yah, tapi ini pengalaman hidup, yang akan saya ceritakan kepada Little Big Rei ketika dia sudah besar. Dongeng sebelum tidur: “Once upon a time, a lovely baby boy was born. He grows fast, smart and healthy, but is not happy sometimes because of some allergies. But his momma really very beary loves his nice-cute-handsome baby son and always try at best to protect him. And like a clear crystal, the baby is handled with love and care.. .“

Minggu, 19 Februari 2012

Alergi ooh Alergi


Sejak lahir, Little Big Rei langsung didiagnosa DSA (Dokter Spesialis Anak) terindikasi alergi, yang katanya biasanya bawaan dari orangtuanya. Sambil menahan sakit sehabis sectio caesaria, saya lirik bapaknya Rei dan menghela nafas. Ah, si pappa alergi seafood, debu, keringat, sentuhan fisik, suhu panas dan banyak pemicu alergi lainnya. Eh si dokter bilang: “Yah positifnya, bapaknya jadi tahu ini asli anaknya.” *whaaat??? 

Kami berdua berkomitmen untuk memberikan Rei full ASI, karena itu apa yang saya makan berpengaruh pada kondisi Rei. Dalam hati, saya salahkan suami saya karena menurunkan alerginya ke Rei. Dia yang alergi, saya yang harus mengendalikan diri dari semua makanan pemicu alergi. Saya kecewa berat. Mana bisa hidup tanpa seafood selama paling tidak dua tahun??.  

Hari demi hari, kami semakin tahu dan menyaksikan bagaimana Rei sangat sensitif. Pernah saya sakau ikan teri yang tergeletak dengan manisnya di meja makan. Ikan teri medan goreng. Alamak! Siapa sih orang batak yang tidak doyan ikan imut ini? Dengan beralasan ke suami, saya bilang mau test alerginya Rei. Dengan gemetaran, saya comot tiga ekor teri saja. Mereka masuk ke mulut. Hasilnya kedua mata Rei bengkak dengan sukses setelah menyusu.

Tragedi lainnya adalah memakan bandeng. Asisten RT di rumah PD sekali kalau bandeng yang dia beli berasal dari air tawar. Beberapa kali saya makan bandeng memang aman-aman saja. Tak tahunya, bandeng kali itu berasal dari lautan antah berantah, terkontaminasi dan tidak segar. Setelah makan bandeng dan menyusui, Rei beruam yang gatal di sekujur selangkangan. Dia menangis, meraung, tidak bisa tidur selama tiga malam. Alhasil, saya dan suami bergadang keliyengan.  

Saya marah-marah kepada asisten RT *cari kambing merah*: “STOOOPP ikan bandeeeng, masakin saya telor aja”.  Karena bosan dengan ayam, saya makan telor dengan berbagai olahan selama tiga hari berturut-turut, yang akhirnya menghadiahkan saya dua bisul besar *gak usah ditulis lokasi bisulnya, malu*. Takdungdung, saya baru tahu bahwa saya juga alergi. Kemungkinan Rei juga alergi telur, karena insiden bandeng kok lama sekali berakhir. Saya curiga bandeng dan telur berestafet. Little Big Rei tambah meratap, gatal-gatal.

Insiden berikutnya tak lain adalah siomai, salah satu makanan dimsum kesukaan saya. Lama tak bersua dengan siomai yang dijual di kampus, jadi pada hari saya mengajar, saya bergegas menuju kantin dan pesan siomai. Tak tanggung-tanggung, sebelum siomai dibayar, saking lapar dan malas ikut antrian panjang di kasir, saya makan sambil berdiri tepat di depan dandang siomai. Dalam waktu tiga menit saja, siomai ludes. Dengan rasa bumbu kacang nikmat tertinggal di mulut, saya nyengir ke abangnya dan mengembalikan piring. Hmmm..puasss. 

Sampai di rumah saya tercenung. Apa yang sudah saya lakukan? Lupa… saya lupaaa, kalau siomai itu terbuat dari ikaaaaan, bukan ayaaaamm. Bumbunya juga dari kacang yang adalah pemicu alergi. Baru sembuh dari alergi bandeng, Little Big Rei tertepa lagi serangan siomai. Sejarah terulang kembali, Rei gelisah dan bertigaan kami tidak tidur semalaman.

Begitulah Little Big Rei menanggung ‘dosa’ pappa dan mommanya. Oh Rei… Little Big Rei... Kasihan kamu, nak. Diliputi rasa bersalah, sekaligus menyalahkan suami *karena alerginya lebih banyak dari saya*, saya beresolusi. Mulai hari ini, ya ..mulai hari ini, saya harus menahan diri. Ini ujian untuk mengendalikan nafsu.

Jumat, 17 Februari 2012

Call me Crazy in Valentine’s Day



Akhirnya berakhir juga gonjang ganjing menentang Valentine’s Day. Berlalu sudah status FB seperti: “People call it Valentine’s Day, I call it Tuesday” atau “No Valentine’s Day. I’m a Moslem”.  Selesai juga hiruk pikuk demo mengharamkan hari raya ini. Sekarang keadaan sudah tenang kembali. Tiap tahun seperti ini, macam rutinitas saja.

Kenapa hari Valentine ini begitu dibenci banyak orang ya? Terlepas dari sejarah valentine yang saya tidak mau bahas di sini *googlingajasendiri*, alasan penolakan  yang ini betul sekali. Kasih sayang seharusnya diberikan dan diterima setiap hari, tidak hanya valentine’s day saja. Setuju. Tetapi kalau alasan yang satu ini: Di hari Valentine, banyak anak muda bermabuk alkohol dan melakukan free sex. Heehhh? Bukannya kejadian seperti itu juga bisa muncul setiap hari? Yah, namanya juga manusia. Lebih enak mengkambinghitamkan momentumnya daripada nafsunya.

Saya bukan peraya Valentine’s Day, tetapi agak geli mengamati sewotnya orang yang tidak merayakan hari valentine dan membuat gerah orang yang merayakannya secara positif dan tulus. Mereka seperti hakim yang memberikan judgement bahwa merayakannya adalah dosa *emangsiapasihkamu? Apa salahnya memiliki hari spesial untuk berkasih-kasihan atau memberikan kado kecil, yang tak seberapalah nilai uangnya, untuk membuat ceria seseorang di suatu hari?

Meski bukan orang yang merayakan hari valentine, saya kok ya lebih senang melihat sepasang orang berkasih-kasihan, bersayang-sayangan, berpelukan bahkan berciuman bibir *didepanumumgakpapa*, daripada melihat orang-orang tawuran, korupsi, berkelahi di sidang DPR atau beranarkis seperti FPI dan daripada melihat demo yang mengharamkan hari Valentine ini.

Call me crazy, tapi sungguh deh, rasa kasih semakin langka di jaman ini. Masyarakat semakin bersekat, memikirkan diri dan kepentingan diri, tidak punya ruang hati untuk sedikit memberikan courtesy bagi orang lain. Not to mention, berlakunya ridicule rules. Cinta diatur-atur: “ tidak boleh berciuman di depan umum”, “laki-laki dan perempuan tidak boleh berdua-duaan, dll.

Ooh, saya merindukan cinta bertebaran di mana-mana… di mana-mana… di mana-mana.

Kamis, 16 Februari 2012

Kersen, My Love

Ini dia, si buah kersen, populer di antara anak-anak yang suka memanjat pohonnya dan berebutan memetiknya.  Saya suka sekali buah yang sering disebut ceri ini, karena beraroma yang menyenangkan. Rasanya khas dan manis. Warnanya pink merona.

Buah Kresen, Buah Ceri-nya Indonesia
Memetiknya menjadi rutinitas saya, Little Big Rei dan keponakan (Revani Putri Raja). Pagi hari, sehabis jogging dan makan bubur ayam, tidak afdol bila kami tidak mampir ke dua pohon kersen yang rindang ini.

Reva dan Little Big Rei (kesian, wajahnya ketutup pegangan stoller)  di samping pohon kersen



Buahnya banyaaak. Letaknya ada di belakang rumah tetangga dan sedikit ngumpet (ada di jalan buntu), jadi buahnya jarang dipetik orang. Hmm, asik banget nih *liurnetes. Sebenarnya ada beberapa pohon kersen lainnya berada di pinggir-pinggir jalan komplek rumah, tetapi buahnya jarang, karena kerap sudah dipetik orang.

Pohon kersen di dekat rumah ini cukup tinggi, jadi banyak buah ranum tidak dapat tergapai dengan tangan. Sayang deh, banyak buah yang jatuh karena tidak ada yang petik. Nah, untung kakak Reva punya mainan ini nih.

garukkannya Reva
Pas saya lihat si tangan panjang ini tergeletak di rumah, muncul bohlam di atas kepala. Twing twing! Memetik buah kersen dengan alat garuk badan ini jadi lebih asyik dengan hasil yang lebih banyak *kemaruk mode on. Tinggal kaitkan si tangan ini ke dahan, tarik dahannya, terus petik-petik deh buahnya. Si tangan ini bisa juga meraih langsung buahnya dan tertinggal di telapaknya. Sip! Langsung diraih si pinky kersen dan masuk box yang sudah disiapkan dari rumah.

Oya, nama ilmiah pohon kersen adalah Muntingia Calabura. Sering disebut  juga pohon talok. Oleh orang Sulawesi sering menyebutnya Gersen. Ini termasuk tanaman perdu, cocok untuk tempat berteduh. Pohonnya mudah dan cepat sekali tumbuh dan berkembang. Ada di mana-mana, subur di trotoar, bahkan pinggir jalan business district seperti Sudirman. Sebenarnya pohon ini agak sedikit liar, suka tumbuh di tembok.

Menurut saya, pohon ini sangat ramah pada manusia dan serangga. Sepanjang tahun, kersen berbunga dan berbuah pink cerah, bagai ingin menyapa dan menghibur orang dan serangga setiap hari. Daaan yang paling penting adalah khasiat buahnya yang dapat menurunkan asam urat bila diminum secara teratur *cobagooglingsendiri.  Kesemutan di kaki saya lambat laun hilang karena memakan *dengan mencuri* nya setiap hari. Sedangkan air rebusan daun kersen dikabarkan bisa menurunkan diabetes dan memperlambat laju kanker. Saya sendiri belum coba.

Tetapi sayang ya, pohon kersen ini kurang dibudidayakan dan dimanfaatkan. Hanya segelintir orang yang membuat sirup dari buah kersen ini menjadi produk herbal lokal, padahal ini potensi sumberdaya lokal yang perlu dikembangkan. Ayo siapa yang mau garaaap?


Kamis, 09 Februari 2012

A little respect, please!

Sedang kesal saya dengan seorang teman di FB yang menstatus lawakan tentang pemerkosaan perempuan di angkot. Status itu berisi tips agar perempuan tidak diperkosa oleh supir angkot, tetapi isinya olok-olok terhadap perempuan. Intinya kalau mau aman, jangan menggoda si supir, dengan pakai candaan 9 tips. Lalu statusnya dikomentari teman-temannya dan memperparah stigma terhadap perempuan. Saya semprot komentar bahwa seharusnya dia memberikan tips kepada supir supaya tidak ngeres, jahat dan memperkosa, bukan malah menuduh perempuan 'kegatelan'. Dia lantas me-remove saya dari friendlist nya. Syukurlah, saya lega. Toh status-statusnya selalu bikin saya enek karena sarat pelecehan perempuan.

Teman, coba simak satu berita lagi tentang pemerkosaan perempuan oleh empat polisi di Bandar Lampung. Korban sedang berpacaran ketika empat polisi ini menghampiri pasangan itu, dan pura-pura menanyakan identitas. Mereka kemudian menyuruh pacar korban pergi, dan memperkosa korban secara bergantian. Bisa kamu bayangkan bagaimana perasaan korban dan juga pacarnya?

Seandainya teman FBku yang bikin status olok-olok tentang perempuan tersebut memiliki orang terdekat yang menjadi korban perkosaan, atau jika kekasihnya yang mengalaminya *amit-amit*, dia pasti tidak memiliki tenaga lagi utk mengetik status seperti itu. So heyy, give a little respect will ya!

Minggu, 05 Februari 2012

Gergaji Rahang

Konon kabarnya 90 % artis korea dioperasi plastik. Silahkan googling sendiri faktanya. Addies, suami saya, pernah tinggal dan bekerja selama 2 (dua) tahun di Korea. Dia membenarkan hal ini. Katanya, di Korea, semakin cantik dan tampan seseorang, semakin popular dia dan semakin mahal bayarannya. Dan banyak orang yang tidak diterima bekerja karena dianggap kurang cakep. Weleh weleh…

Orang biasa (non artis) juga banyak yang dioperasi dan ini sudah menjadi hal yang wajar di negeri itu. Suatu hari Minggu waktu Addies ke gereja, ada jemaat yang bilang kepadanya bahwa ia ingin anak perempuannya kelak dioperasi, sambil menunjuk si anak.

Banyak orang Korea kurang menyukai struktur rahang yang cenderung lebar dan persegi. Jadi mereka pergi ke dokter kecantikan untuk minta digergaji rahangnya! Teman saya Iva Kasuma yang pernah berkunjung ke Korea, diberitahu teman-teman di sana bahwa perempuan tangguh di negeri Korea adalah yang berhasil melewati sakitnya pasca operasi mengecilkan rahang!

Addies juga bercerita. Selain rahang, bagian tubuh yang dipilih untuk dioperasi adalah mata (agar ada kelopaknya, tidak sipit), kening (ditipiskan), hidung (diramping dan mancungkan), dagu (diruncingkan). Oya, biaya operasi plastik di Korea relatif lebih murah dibanding di Negara lain, sehingga banyak turis ‘berwisata’ operasi plastik ke negeri ini, dan dengan demikian industri satu ini semakin menguntungkan.

Hmm, agak terkejut juga saya mendengarnya, karena saya sempat gemar menonton film Korea yang ceritanya lucu-lucu, sambil kagum dengan ketampanan dan kecantikan artisnya. Ternyata oh ternyata, mereka tidak asli! Sekarang saya sudah tidak sempat lagi menonton film Korea. Tetapi kalau ibu saya sedang menonton film Korea di Indosiar, saya kadang nimbrung. Kali ini tidak mengikuti jalan ceritanya, tapi melototin artisnya dan mengira-ngira bagian tubuh manakah yang dioperasi.

Menggergaji rahang tentu adalah hak yang bersangkutan. Tapi saya jadi tercenung. Mengapa manusia sedemikian teralienasi ya dari tubuhnya? Manusia merasa asing dengan tubuh, sehingga tubuh terpisah dari jiwa. Tubuh yang sudah asli dari 'sono' dibenci dan dirubah menjadi sesuatu yang lebih ‘indah’. Tetapi definisi indah yang seperti apa? Rasanya tubuh telah menjadi bulan-bulanan patriarkis-kapitalis. Ada usaha untuk menyamaratakan definisi, yakni mengonsepkan perempuan cantik sebagai putih, langsing, mancung, dll. Baru-baru ini konsep kecantikan disusun pula sedemikian rupa untuk mendorong penggunaan kosmetik di kalangan laki-laki, sehingga iklan produknya direpresentasikan oleh laki-laki *yang mungkin telah dioperasi plastik*. Anehnya konsumen (baca: masyarakat) bertekuk lutut dan tunduk pada ‘kencatikanisme’ ini. Begitulah kuatnya kekuasaan kapital dan industrialisasi.

Saya tercenung lagi. Kali ini bersyukur bahwa saya tidak perlu ‘beli’ gergaji rahang, karena roh dan jiwa ini sudah berdamai dengan tubuh. Dan saya cinta tubuh ini *meski perut ini buncit, berkulit jeruk habis melahirkan.

Zero Violence

Seorang siswi SMP diperkosa guru SMP + 6 siswa di Tangerang. Beritanya di sini. Apakah masih ada yang ingin menyalahkan korban? Misalnya karena si siswi pakai rok? Pemerkosaan adalah soal ketimpangan kekuasaan, antara guru-siswi, laki-laki-perempuan. Bukan salah perempuan memiliki tubuh seperti ini (udah dari sononya kale), tapi salahkan otak laki-laki yang ngeres, jahat, berkuasa dan lemah kemampuan mengekang nafsu, serta kebiasaan cuci tangan menyalahkan perempuan. Blame on the victim menambah kekerasan terhadap perempuan, selain pemerkosaan itu sendiri. Zero violence against women and girls!

Jumat, 03 Februari 2012

Dua Kepala dalam Keluarga?

Siapakah pemimpin dalam keluarga? Buat Addies dan saya, istilah “satu nakhoda dalam kapal” sudah basi. Kami pilih istilah lain: “dua supir bis Jakarta-Bali”. Tiap bis antar propinsi pasti dikendarai oleh minimal dua supir secara bergantian. Sebelumnya mereka sepakat tentang kemana dan bagaimana mencapai tujuan. 

Sebelum menikah, Addies dan saya berunding tentang siapa yang akan menjadi kepala keluarga dan apa deskripsi tugasnya. Apakah betul hanya suami saja nakhoda dan istri penumpang kapalnya? Ini yang dinasehatkan secara keras oleh keluarga besar di hari pernikahan kami dan disampaikan pula dalam sebuah sesi pra nikah yang kami ikuti di gereja.

Apa sih  sebenarnya tugas kepala keluarga? Kalau tugasnya mencari nafkah, bagaimana kalau suami dan istri sama-sama mencari nafkah? Bahkan ada banyak istri yang berpendapatan lebih banyak dari suami. Tidakkan istri menjadi pencari nafkah utama dalam kasus ini? Jadi dalam bayangan kami, tugas kepala keluarga bukan hanya mencari nafkah.

Jika tugas kepala keluarga adalah melindungi, tidakkah istri sering berperan melindungi anggota keluarga, misalnya merawat yang sakit, mengingatkan suami agar hidup lurus dan tidak korupsi, menjaga rahasia keluarga, mengorbankan karir untuk segala macam perawatan keluarga, dll?  

Akhirnya kami menyimpulkan bahwa kepala keluarga adalah dia yang memikirkan, memutuskan dan bertindak segala sesuatu agar keluarga berbahagia, berdamai sejahtera lahir dan batin. Dan tentunya dia yang rela berkorban untuk memenuhi tanggungjawab itu.

Lalu siapakah dia? Apakah hanya suami ataukah bisa dilakukan ‘tandem’?  Menurut kami berdua, tidak terlalu baik bila hanya laki-laki yang didorong menjadi kepala keluarga. Suami perlu berbagi beban agar tidak tertekan, sedangkan istri perlu belajar untuk menjadi pemimpin. Kami tidak ingin menutup mata dari realita bahwa sering istri lebih banyak tahu tentang berbagai hal seputar rumahtangganya dan mengambil keputusan secara mandiri.  

Dan akhirnya kami memutuskan bahwa kami berdualah kepala keluarga. Semua tugas di dalam dan luar rumahtangga dapat dipertukarkan, maksudnya dapat dilakukan oleh saya dan Addies secara bergantian (kecuali hamil dan menyusui langsung dari payudara yang dilakukan hanya oleh saya). Kami boleh memilih peran sesuai dengan minat dan keahlian masing. 

Satu syarat yang wajib dipenuhi untuk gaya kepemimpinan ini adalah ruang diskusi dan berbagi seluas-luasnya antara saya dan Addies. Kami mengobrol tentang hubungan, tentang anak di masa kini dan depan, tentang uang dan harta benda, tentang apa yang kami miliki dan ingin miliki, tentang seks dan KB, tentang hubungan dengan orangtua, mertua dan ipar, tentang ini, tentang itu. 

Mengobrol dan tuning in, itulah kesukaan kami, untuk menetapkan tujuan dan memilih proses, hingga tidak ada ‘ganjelan’ yang bisa jadi bom sewaktu-waktu. Si komunikasi buruk, biang keladi perceraian.

Jadi, dua kepala dalam keluarga? Why not? Kami belajar bahwa ternyata ini membuat kami makin saling mencintai, lagi dan lagi.

Peringatan untuk pembaca: 

Ini sepenuhnya keputusan internal dan hak keluarga saya. Anda tentunya boleh berpendapat lain dan mengikuti nilai-nilai ‘mainstream’ yang ada. Dan sepenuhnya itu adalah hak Anda.  

 

Kamis, 02 Februari 2012

Susu Kita dan Kolor

Mumpung matahari sedang tersenyum dengan manisnya, tadi pagi saya berjemur dengan Little Big Rei di depan rumah orangtua saya. Lalu, lewatlah dua ibu yang suka bersih-bersih jalanan di komplek, yang terpana melihat Little Big Rei. Dulu waktu saya hamil 7-9 bulan dan rajin jalan-jalan pagi, saya sering mengobrol dengan kedua ibu ini. Melihat Little Big Rei, mereka berdua lantas sepakat  bahwa anakku cepat besar, padahal masih berusia empat bulan. Mereka belum lama melihatnya masih merah.

Salah satu ibu bertanya: “Dedeknya minum ‘susu kita’ ngga?”. Heehh, maksudnya? Terus dia perjelas dengan meraba payudaranya. Oooh maksudnya ‘Susu Kita’ itu ASI toh, bukan merk susu, pikir saya. Terus saya bilang: “Iya bu, ASI”. Dia lantas bilang “Ya kalo susu kita, bayinya cepet gede. Bagus, nanti jarang sakit.”

Lalu saya iseng bertanya *dasarotakpeneliti*: “Di kampung sini, rata-rata ibu-ibu ngasih susu kita atau susu kaleng bu?. Oya, komplek rumah ortu saya ada di bilangan Cibubur, yang di sekitarnya ada perkampungan penduduk asli bersuku Sunda-Betawi. Lalu si ibu menjelaskan bahwa ibu-ibu di kampung itu rata-rata memberikan ‘Susu Kita’. Saya lanjut membalas: “Bagus dong bu, soalnya banyak ibu-ibu yang cepat putus asa kalau ASI ngga keluar, terus langsung kasih susu kaleng.”

Si ibu membalas lagi: “Oooh neng, biar tetek kita banyak aernya, kita makan sayur katuk yang banyak. Terus kalo di kampung sini mah, tetek kita pijat dan gosok pakai kolor suami, nanti aer teteknya banyak.”  Haaahh, gubraaakk!?! Saya bilang: “Jorok dong bu.” Dia balas: “Enggak lah, kolor yang bersih atuh.”

Habis itu, saya ceritakan suami saya tentang ‘susu kita’ dan ‘kolor’ ini. Dia terbahak. Kami berdua membahas korelasi keduanya dan berspekulasi. Spekulasi A: rangsangan dari elusan yang menggunakan kolor suami mungkin bisa membuat ibu rileks dan memunculkan milk ejection reflex. Spekulasi B: itu hanya mitos belaka.

Oke bu, yang penting kita sepakat bahwa Susu Kita itu TOP BGT yaa. Yang ini jelas bukan mitos. Heheheh :-)

Rabu, 01 Februari 2012

Ah, UU Usang (Episode 2 - Poligami dalam UU Perkawinan)

Kali ini, yang saya ingin bahas dari UU no.1/1974 tentang Perkawinan adalah poligami. UU Perkawinan ini sepertinya telah dibuat dengan banyak pengaruh dari interpretasi ajaran agama Islam, yang memperbolehkan poligami sebagai sunnah Rasul. Di dalam agama lain, misalnya Kristen dan Katolik, poligami jelas tidak diperbolehkan. Saya tidak ingin membahas boleh tidaknya poligami dari sudut pandang agama, karena saya bukan ahlinya. Saya ingin membahas isi UU ini dari sudut pandang dan analisis gender.
UU ini jelas mengijinkan poligami, tetapi tidak untuk poliandri. Dari sini saja sudah terasa bahwa posisi laki-laki dan perempuan tidak seimbang. Ada pembedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pasal 4 dari UU Perkawinan, dikatakan suami boleh menikah lagi kalau tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri. Lah, kalau suami yang tidak menjalani kewajibannya bagaimana? Boleh tidak istri cari suami baru? Hal ini tentu saja tidak dibahas di dalam UU Perkawinan.
Disebutkan juga bahwa suami boleh menikah lagi kalau istri cacat badan atau berpenyakit yang tidak dapat disembuhkan. Sedangkan bila suami cacat atau berpenyakit, tidak ada pernyataan bahwa perempuan boleh menikah lagi. Hmmm, ini pasti soal seksualitas. Para penyusun pasal ini kemungkinan besar bermaksud menghubungkannya dengan kebutuhan seks laki-laki yang tidak terpenuhi bila istri cacat atau berpenyakit. Ini berarti laki-laki menikahi perempuan karena tubuhnya dapat memenuhi kebutuhan fisik laki-laki. Dan jika tubuh itu sudah tidak dapat memberikan kepuasan, suami boleh mencari tubuh yang lain. Selain diskriminatif terhadap perempuan, kok pasal ini jadi terdengar merendahkan martabat laki-laki, seolah-olah laki-laki barbar dan tidak memiliki hati yang tulus. 
Masih di dalam pasal 4 UU Perkawinan ini, disebutkan bahwa suami boleh menikah lagi kalau istri tidak dapat memberikan keturunan. Hmm, bagaimana menurut Anda? Rasanya kok perempuan dinilai hanya sekadar tubuh dan rahimnya. Kalau rahimnya tidak berguna, laki-laki boleh cari rahim lain. Padahal, banyak juga lhooo laki-laki yang mandul. Tetapi di dalam hukum, tidak ada dispensasi bagi perempuan yang suaminya mandul untuk boleh menikah lagi. 
Memang ada syarat bagi suami untuk menikah lagi, yaitu asalkan mendapatkan ijin dari istri atau istri-istri, asalkan ada kepastian bahwa suami dapat memenuhi keperluan hidup dan ada jaminan bahwa suami berlaku adil kepada istri-istri dan anak-anak. Tetapi bagaimana sih menakar ‘adil’? Dan seperti apa jaminannya? Adakah kasus poligami yang memberikan keadilan? Bahkan Teh Nini saja akhirnya tidak tahan dengan poligami dan akhirnya minta cerai dari Aa Gym. Dia tidak dapat lagi menyembunyikan tekanan yang dirasakan. Apa lagi kalau bukan karena kurang merasakan keadilan? Seluas apapun hati perempuan yang menerima poligami, pastilah ada ketertekanan dari rasa cemburu dan ketidakadilan.
UU Perkawinan menunjukkan lemahnya posisi perempuan di mata hukum. Di negara ini, perempuan tidak terlindungi dalam berumahtangga, lebih tepatnya terancam ditinggalkan suami bila dirinya cacat, berpenyakit, atau mandul. Perempuan juga lebih banyak dituntut dengan kewajiban, sementara laki-laki lebih banyak mendapatkan hak. Isi dari UU ini adalah egoisnya laki-laki. Habisnya disusun oleh laki-laki sih. Isinya juga kurang menghargai makna pernikahan yang sesungguhnya, yaitu bukan hanya soal tubuh, tetapi tentang cinta kasih yang tulus dalam kebersamaan, di mana pasangan diharapkan setia dalam suka maupun duka, dalam kesenangan maupun kesusahan. 
Apakah Anda masih ingin poligami dibolehkan secara hukum? Saya tidak mau! 

Ah, UU Usang (Episode 1 - Peran Istri & Suami dalam UU Perkawinan)

Ah, UU Usang (Episode 1 - Peran Istri & Suami dalam UU Perkawinan)

Apakah mommas tahu bahwa peran kita diatur oleh UU No. 01/1974 tentang Perkawinan?  Suami berperan sebagai kepala rumah tangga dan istri berperan sebagai Ibu Rumah Tangga (pasal 31 ayat 3). Duilaaah, jadul oh jaduuul *kompres jidat*. Aturan ini mengikat secara hukum lhoo. Namanya juga ada di dalam Undang-Undang. 

Menjadi ibu rumah tangga tentu saja amat baik dan mulia. Tetapi kalau perempuan diatur secara hukum hanya menjadi ibu rumah tangga, ini namanya pemangkasan kapasitas perempuan sebagai manusia seutuhnya, yang memiliki tujuan hidup, kemampuan dan kualitas. Aturan ini juga tidak merefleksikan kenyataan di masa kini. Betapa telah majunya perempuan Indonesia: yang berkarir, menjadi pengusaha dan bahkan menjadi kepala keluarga. Dan janganlah negara menutup mata, perempuan pengusaha kecil/mikro telah berperan menjadi buffer (penyangga) perekonomian negara. Jangan juga ngeles kalau ini peran di ranah publik saja dan tidak berhubungan dengan rumahtangga. Sesungguhnya tidak ada batas antara ranah publik dan ranah domestik (rumah tangga). Peran perempuan di kedua ranah saling berinteraksi.

Oke, sekarang bicara peran suami yang adalah kepala keluarga, sebenarnya apa sih definisi dua kata ini? Sebenarnya tidak pernah ada penjelasan yang jelas tentang makna kepala keluarga, selain bahwa orangnya harus laki-laki. Ini interpretasi dari, kayaknya hampir semua ajaran agama deh. 

Sebenarnya dalam pasal 34 dari UU Perkawinan ini disebutkan bahwa suami wajib melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya. Semisal kepala keluarga dimaknai sebagai pencari nafkah utama yang memenuhi keperluan hidup RT, bukannya banyak perempuan yang seperti itu? Dari beberapa kali mengobrol dengan perempuan pedagang, seperti tukang sayur, tukang cuci, tukang nasi uduk, ternyata suaminya menganggur dan merekalah tonggak ekonomi keluarga. Namun dalam budaya patriarkis, siapa yang rela menyebutkan mereka kepala keluarga? Paling-paling kalau suami meninggal dan istrinya menafkahi keluarga, barulah banyak orang berani bilang mereka adalah perempuan kepala keluarga. 

Di lain sisi, didorongnya laki-laki menjadi pencari nafkah utama oleh hukum patriarkis ini dapat menjadi tekanan psikologis tersendiri bagi laki-laki, apalagi bila dirinya tidak memiliki ketrampilan atau belum memiliki pekerjaan, sedangkan istri bekerja. Suami bisa minder atau rendah diri. Ada banyak suami yang seperti ini akhirnya melampiaskan tekanan dengan melakukan kekerasan fisik dan psikis kepada istri dan anak, untuk tetap menunjukkan kekuasaannya. Akibatnya, perempuan lagi yang merugi. 

Kembali ke UU Perkawinan,  instrumen hukum negara ini sudah usang, seharusnya tidak terpakai, karena tidak memiliki konteks dan realita sekarang. UU ini diskriminatif dan mengecilkan peran perempuan. Dulu kemungkinan besar UU ini dibuat oleh sekelompok wakil rakyat yang berjenis kelamin laki-laki. Jadi yang dipakai ya perspektif laki-laki. Seharusnya UU ini mendapatkan prioritas untuk direvisi, tetapi sampai sekarang sepertinya wakil rakyat kita malaaasss meninjau dan merevisinya. 

Revisi UU ini perlu terbuka dengan konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tidak hanya mengacu pada interpretasi agama secara patriarkis, misalnya bahwa kepala keluarga harus laki-laki. Sejatinya menurut saya, semua peran rumahtangga dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, kecuali peran melahirkan dan menyusui yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Ada juga suami yang menjadi bapak rumah tangga, sedangkan istrinya berkarir dan menjadi penopang ekonomi. Ini berlaku di keluarga paman saya. Demikian juga peran menjadi kepala keluarga dapat diemban bersama oleh kedua suami dan istri, seperti yang disepakati oleh saya dan suami. 

Ah, semoga para wakil rakyat dapat segera mendiskusikan revisi UU ini. Minimal wakil rakyat perempuan diharapkan lebih sensitif gender dan memperjuangkannya.