Minggu, 19 Februari 2012

Alergi ooh Alergi


Sejak lahir, Little Big Rei langsung didiagnosa DSA (Dokter Spesialis Anak) terindikasi alergi, yang katanya biasanya bawaan dari orangtuanya. Sambil menahan sakit sehabis sectio caesaria, saya lirik bapaknya Rei dan menghela nafas. Ah, si pappa alergi seafood, debu, keringat, sentuhan fisik, suhu panas dan banyak pemicu alergi lainnya. Eh si dokter bilang: “Yah positifnya, bapaknya jadi tahu ini asli anaknya.” *whaaat??? 

Kami berdua berkomitmen untuk memberikan Rei full ASI, karena itu apa yang saya makan berpengaruh pada kondisi Rei. Dalam hati, saya salahkan suami saya karena menurunkan alerginya ke Rei. Dia yang alergi, saya yang harus mengendalikan diri dari semua makanan pemicu alergi. Saya kecewa berat. Mana bisa hidup tanpa seafood selama paling tidak dua tahun??.  

Hari demi hari, kami semakin tahu dan menyaksikan bagaimana Rei sangat sensitif. Pernah saya sakau ikan teri yang tergeletak dengan manisnya di meja makan. Ikan teri medan goreng. Alamak! Siapa sih orang batak yang tidak doyan ikan imut ini? Dengan beralasan ke suami, saya bilang mau test alerginya Rei. Dengan gemetaran, saya comot tiga ekor teri saja. Mereka masuk ke mulut. Hasilnya kedua mata Rei bengkak dengan sukses setelah menyusu.

Tragedi lainnya adalah memakan bandeng. Asisten RT di rumah PD sekali kalau bandeng yang dia beli berasal dari air tawar. Beberapa kali saya makan bandeng memang aman-aman saja. Tak tahunya, bandeng kali itu berasal dari lautan antah berantah, terkontaminasi dan tidak segar. Setelah makan bandeng dan menyusui, Rei beruam yang gatal di sekujur selangkangan. Dia menangis, meraung, tidak bisa tidur selama tiga malam. Alhasil, saya dan suami bergadang keliyengan.  

Saya marah-marah kepada asisten RT *cari kambing merah*: “STOOOPP ikan bandeeeng, masakin saya telor aja”.  Karena bosan dengan ayam, saya makan telor dengan berbagai olahan selama tiga hari berturut-turut, yang akhirnya menghadiahkan saya dua bisul besar *gak usah ditulis lokasi bisulnya, malu*. Takdungdung, saya baru tahu bahwa saya juga alergi. Kemungkinan Rei juga alergi telur, karena insiden bandeng kok lama sekali berakhir. Saya curiga bandeng dan telur berestafet. Little Big Rei tambah meratap, gatal-gatal.

Insiden berikutnya tak lain adalah siomai, salah satu makanan dimsum kesukaan saya. Lama tak bersua dengan siomai yang dijual di kampus, jadi pada hari saya mengajar, saya bergegas menuju kantin dan pesan siomai. Tak tanggung-tanggung, sebelum siomai dibayar, saking lapar dan malas ikut antrian panjang di kasir, saya makan sambil berdiri tepat di depan dandang siomai. Dalam waktu tiga menit saja, siomai ludes. Dengan rasa bumbu kacang nikmat tertinggal di mulut, saya nyengir ke abangnya dan mengembalikan piring. Hmmm..puasss. 

Sampai di rumah saya tercenung. Apa yang sudah saya lakukan? Lupa… saya lupaaa, kalau siomai itu terbuat dari ikaaaaan, bukan ayaaaamm. Bumbunya juga dari kacang yang adalah pemicu alergi. Baru sembuh dari alergi bandeng, Little Big Rei tertepa lagi serangan siomai. Sejarah terulang kembali, Rei gelisah dan bertigaan kami tidak tidur semalaman.

Begitulah Little Big Rei menanggung ‘dosa’ pappa dan mommanya. Oh Rei… Little Big Rei... Kasihan kamu, nak. Diliputi rasa bersalah, sekaligus menyalahkan suami *karena alerginya lebih banyak dari saya*, saya beresolusi. Mulai hari ini, ya ..mulai hari ini, saya harus menahan diri. Ini ujian untuk mengendalikan nafsu.

2 komentar:

  1. Kak Ruth.. semangat ya kak..
    postingan tentang alerginya rei membuat aku tersipu..
    semoga ASIX sampai 2tahun nya sukses ya..

    GBU kak
    Irenne Suhandy
    adik ipar Riana Katoroy (Sumolang)

    BalasHapus
  2. Halo Irenne. Heheheh. Thanks yaaa. Salam utk si kecil dan utk Riana. GBU

    BalasHapus