Sejak lahir, Little Big Rei langsung didiagnosa DSA (Dokter
Spesialis Anak) terindikasi alergi, yang katanya biasanya bawaan dari
orangtuanya. Sambil menahan sakit sehabis sectio caesaria, saya lirik bapaknya Rei
dan menghela nafas. Ah, si pappa alergi seafood, debu, keringat, sentuhan fisik,
suhu panas dan banyak pemicu alergi lainnya. Eh si dokter bilang: “Yah
positifnya, bapaknya jadi tahu ini asli anaknya.” *whaaat???
Kami berdua berkomitmen untuk memberikan Rei full ASI,
karena itu apa yang saya makan berpengaruh pada kondisi Rei. Dalam hati, saya
salahkan suami saya karena menurunkan alerginya ke Rei. Dia yang alergi, saya
yang harus mengendalikan diri dari semua makanan pemicu alergi. Saya kecewa
berat. Mana bisa hidup tanpa seafood selama paling tidak dua tahun??.
Hari demi hari, kami semakin tahu dan menyaksikan bagaimana
Rei sangat sensitif. Pernah saya sakau
ikan teri yang tergeletak dengan manisnya di meja makan. Ikan teri medan
goreng. Alamak! Siapa sih orang batak yang tidak doyan ikan imut ini? Dengan beralasan ke suami, saya bilang mau test
alerginya Rei. Dengan
gemetaran, saya comot tiga ekor teri
saja. Mereka masuk ke mulut. Hasilnya kedua mata Rei bengkak dengan sukses setelah menyusu.
Tragedi lainnya adalah memakan bandeng. Asisten RT di rumah
PD sekali kalau bandeng yang dia beli berasal dari air tawar. Beberapa kali
saya makan bandeng memang aman-aman saja. Tak tahunya, bandeng kali itu berasal
dari lautan antah berantah, terkontaminasi dan tidak segar. Setelah makan
bandeng dan menyusui, Rei beruam yang gatal di sekujur selangkangan. Dia
menangis, meraung, tidak bisa tidur selama tiga malam. Alhasil, saya dan suami
bergadang keliyengan.
Saya marah-marah kepada asisten RT *cari kambing merah*: “STOOOPP
ikan bandeeeng, masakin saya telor aja”. Karena bosan dengan ayam, saya makan telor
dengan berbagai olahan selama tiga hari berturut-turut, yang akhirnya menghadiahkan
saya dua bisul besar *gak usah ditulis lokasi bisulnya, malu*. Takdungdung, saya baru tahu bahwa saya juga alergi.
Kemungkinan Rei juga alergi telur, karena insiden bandeng kok lama sekali
berakhir. Saya curiga bandeng dan telur berestafet. Little Big Rei tambah
meratap, gatal-gatal.
Insiden berikutnya tak lain adalah siomai, salah satu
makanan dimsum kesukaan saya. Lama tak bersua dengan siomai yang dijual di
kampus, jadi pada hari saya mengajar, saya bergegas menuju kantin dan pesan
siomai. Tak tanggung-tanggung, sebelum siomai dibayar, saking lapar dan malas ikut antrian panjang di kasir, saya makan sambil berdiri tepat di depan dandang siomai. Dalam waktu tiga menit saja, siomai ludes. Dengan rasa bumbu kacang nikmat tertinggal
di mulut, saya nyengir ke abangnya dan mengembalikan piring. Hmmm..puasss.
Sampai di rumah saya tercenung. Apa yang sudah saya lakukan?
Lupa… saya lupaaa, kalau siomai itu terbuat dari ikaaaaan, bukan ayaaaamm.
Bumbunya juga dari kacang yang adalah pemicu alergi. Baru sembuh dari alergi
bandeng, Little Big Rei tertepa lagi serangan siomai. Sejarah terulang kembali,
Rei gelisah dan bertigaan kami tidak tidur semalaman.
Begitulah Little Big Rei menanggung ‘dosa’ pappa dan mommanya.
Oh Rei… Little Big Rei... Kasihan kamu, nak. Diliputi rasa bersalah, sekaligus
menyalahkan suami *karena alerginya lebih banyak dari saya*, saya beresolusi.
Mulai hari ini, ya ..mulai hari ini, saya harus menahan diri. Ini ujian untuk
mengendalikan nafsu.
Kak Ruth.. semangat ya kak..
BalasHapuspostingan tentang alerginya rei membuat aku tersipu..
semoga ASIX sampai 2tahun nya sukses ya..
GBU kak
Irenne Suhandy
adik ipar Riana Katoroy (Sumolang)
Halo Irenne. Heheheh. Thanks yaaa. Salam utk si kecil dan utk Riana. GBU
BalasHapus